Akan tetapi
tidak semua keterangan saksi memiliki nilai dan kekuatan sebagai alat
bukti. Misalnya saja keterangan saksi di luar apa yang didengar, dilihat
atau dialaminya sendiri. Selain itu, keterangan saksi yang diperoleh
dari pendengaran orang lain (testimonium de auditu) juga tidak mempunyai
kekuatan pembuktian. Begitu pula opini atau rekaan yang diperoleh dari
hasil pemikiran saksi yang bersangkutan. Keterangan saksi demikian tidak
bisa dijadikan sebagai alat bukti di persidangan.
Kemudian
sesuai dengan Pasal 185 ayat (2) KUHAP, maka keterangan seorang saksi
saja, belum dapat dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk untuk
membutuhkan kesalahan terdakwa. Hal tersebut dikenal dengan ungkapan
Unus Tetis Nullus Tetis (satu saksi bukan saksi).53 Artinya, jika
alat bukti yang tersedia hanya terdiri dari seorang saksi saja tanpa
ditambah dengan keterangan saksi yang lain atau alat bukti yang lain,
maka “kesaksian tunggal” tersebut tidak dapat dinilai sebagai alat bukti
yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
Permasalahan
yang muncul di dalam praktek penanganan perkara, adalah terdapat dugaan
terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa pelaku, namun
tidak ada saksi yang secara langsung melihat dan mendengar saat tindak
pidana tersebut dilakukan, sehingga yang paling mengetahui tentang
peristiwa tersebut adalah para pelaku sendiri. Dalam hal inilah,
diperlukan upaya pembuktian dengan jalan melakukan pemecahan perkara
(splitsing) supaya terdapat alat bukti Keterangan Saksi dan mempunyai
kekuatan pembuktian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 185 ayat (2)
diatas, sehingga pelaku yang satu dapat menjadi saksi terhadap pelaku
lain.
Dasar dari dilakukannya pemecahan perkara tersebut tercantum dalam Pasal 142 KUHAP yang menyatakan :
“Dalam
hal Penuntut Umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa
tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak
termasuk dalam ketentuan Pasal 141, Penuntut Umum dapat melakukan
penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah.”
Dalam pasal 142 KUHAP terdapat pengecualian yang tercatum dalam pasal 141 berbunyi:
“Penuntut
Umum dapat melakukan pengabungan perkara dan membuatnya dalam satu
surat dakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia
menerima beberapa berkas perkara dalam hal :
- Beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungaannya;
- Beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain;
- Beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan yang lain, akan tetapi yang satu dengan yang lain ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan.
Yang
dimaksud dengan “ tindak pidana dianggap mempunyai sangkut paut satu
dengan yang lain “ dalam pasal 141 huruf b adalah apabila tindak pidana
tersebut dilakukan :
- Oleh lebih dari seorang yang bekerja sama dan dilakukan pada saat yang bersamaan;
- Oleh lebih dari seorang pada saat dan tempat yang berbeda, akan tetapi merupakan pelaksanaan dan pemufakatan jahat yang dibuat oleh mereka sebelumnya;
Oleh
seorang atau lebih dengan maksud mendapat alat yang akan dipergunakan
untuk melakukan tindak pidana lainatau menghindarkan diri dari
pemidanaan karena tindakpidana lain.
Pasal
142 KUHAP memberikan kewenangan kepada Penuntut Umum untuk melakukan
“pemecahan berkas perkara” dari satu berkas perkara menjadi beberapa
berkas perkara. Artinya, kewenangan untuk melakukan splitsing berada di
tangan Penuntut Umum.
Namun
KUHAP tidak memberikan penjelasan lebih lanjut tentang kapankah
splitsing tersebut dilakukan oleh Penuntut Umum. Dalam Tambahan Lembaran
Negara R.I. No. 3209 tentang Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1981 Nomor 7 (KUHAP) Pasal 142 hanya diterangkan “Cukup
jelas”.
Apabila
diperhatikan redaksi dari Pasal 142 KUHAP, yaitu “..........Penuntut
Umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara
terpisah.”, maka haruslah dilihat tentang pengertian “penuntutan”.
Sesuai dengan Pasal 1 angka 7 KUHAP, pengertian “Penuntutan” adalah
“tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan
negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh
hakim di sidang pengadilan”.
Dengan
demikian, pelaksanaan splitsing seharusnya memang dilakukan pada saat
sebelum Penuntut Umum melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan Negeri sebagaimana diterangkan dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP Penjelasan Pasal 142.
Sehubungan
dengan hal tersebut, apabila melihat kewenangan Penuntut Umum, maka hal
tersebut diatur dalam Pasal 14 KUHAP sebagai berikut :
- Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik pembantu;
- Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan (4), dengan memberikan petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;
- Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
- Membuat surat dakwaan;
- Melimpahkan perkara ke pengadilan;
- Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;
- Melakukan penuntutan;
- Menutup perkara demi kepentingan hukum;
- Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang;
- Melaksanakan penetapan hakim.
Apabila
memperhatikan kewenangan Penuntut Umum diatas, maka sebelum melimpahkan
berkas perkara ke Pengadilan Negeri, maka tugas Penuntut Umum secara
ringkas adalah Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan,
mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dan
membuat surat dakwaan. Mengingat, Penjelasan Pasal 142 menyatakan bahwa
biasanya splitsing dilakukan dengan membuat berkas perkara baru dimana
para tersangka saling menjadi saksi, sehingga untuk itu perlu dilakukan
pemeriksaan baru, baik terhadap tersangka maupun saksi, maka splitsing
dilakukan pada saat Penuntut Umum melakukan kegiatan Prapenuntutan
sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 14 huruf b KUHAP, yaitu : “Mengadakan
prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan
memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan (4), dengan memberikan
petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik”. Oleh
karena itu, Splitsing dilakukan pada saat tahap Prapenuntutan, yaitu
ketika Penunut Umum memberikan petunjuk kepada Penyidik untuk memecah
berkas perkara.
Hal
tersebut disebabkan pemecahan penuntutan perkara (splitsing) seperti
yang dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 142 KUHAP biasanya memang
dilakukan dengan membuat berkas perkara lagi, sehingga perlu dilakukan
kembali pemeriksaan terhadap saksi maupun terhadap terdakwa.54 Dalam hal
ini, tugas
untuk
menyusun berkas perkara adalah di pihak Penyidik dan bukan di pihak
Penuntut Umum, sebagaimana tertuang dalam Pasal 110 ayat (1), yaitu : “Dalam
hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera
menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum.” Oleh karena itu,
Penyidik melakukan splitsing atas perintah Penuntut Umum, apabila dari
hasil penelitian berkas perkara,Penuntut Umum berpendapat bahwa perkara
pidana tersebut perlu dilakukan splitsing.
Hal
tersebut juga disebabkan, salah satu urgensi dari pemecahan berkas
perkara menjadi berkas perkara yang berdiri sendiri, dimaksudkan untuk
menempatkan para terdakwa masing-masing menjadi saksi secara timbal
balik diantara sesama mereka. Oleh karena itu, jelas diperlukan kembali
pemeriksaan penyidikan. Dalam hal inilah, sekalipun pemecahan berkas
perkara dilakukan oleh Penuntut Umum, namun pemeriksaan penyidikan yang
diakibatkan pemecahan berkas perkara tetap menjadi wewenang
Penyidik.Oleh karena itu, dalam pemecahan berkas perkara dilakukan
hal-hal sebagai berikut :
- Pemeriksaan penyidikan dilakukan oleh penyidik dengan jalan pihak penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik, dalam arti “penyidikan tambahan”;
- Pemeriksaan penyidikan akibat pemecahan berkas perkara dilakukan oleh penyidik berdasar petunjuk yang diberikan oleh penuntut umum;
- Tata cara pengembalian berkas, baik yang dilakukan oleh penuntut umum kepada penyidik maupun oleh penyidik kepada penuntut umum dalam rangka pemecahan berkas perkara, berpedoman kepada ketentuan tata cara dan batas-batas tenggang waktu yang ditentukan dalam Pasal 110 ayat (4) dan Pasal 138 ayat (2) KUHAP.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar