Jumat, 20 April 2012

SPLITSING PERKARA

Dalam Pasal 184 KUHAP terdapat lima alat bukti yang sah untuk dijadikan dasar terhadap pembuktian adanya suatu tindak pidana. Berkaitan dengan hal tersebut, alat bukti yang paling paling mudah dan paling sering dipergunakan adalah Keterangan Saksi. Dalam prakteknya, hampir semua pembuktian perkara pidana membutuhkan alat bukti berupa keterangan saksi51 dan pada umumnya alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi. Sekurang-kurangnya disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.52

Akan tetapi tidak semua keterangan saksi memiliki nilai dan kekuatan sebagai alat bukti. Misalnya saja keterangan saksi di luar apa yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri. Selain itu, keterangan saksi yang diperoleh dari pendengaran orang lain (testimonium de auditu) juga tidak mempunyai kekuatan pembuktian. Begitu pula opini atau rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saksi yang bersangkutan. Keterangan saksi demikian tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti di persidangan.

Kemudian sesuai dengan Pasal 185 ayat (2) KUHAP, maka keterangan seorang saksi saja, belum dapat dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk untuk membutuhkan kesalahan terdakwa. Hal tersebut dikenal dengan ungkapan Unus Tetis Nullus Tetis (satu saksi bukan saksi).53 Artinya, jika alat bukti yang tersedia hanya terdiri dari seorang saksi saja tanpa ditambah dengan keterangan saksi yang lain atau alat bukti yang lain, maka “kesaksian tunggal” tersebut tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa.

Permasalahan yang muncul di dalam praktek penanganan perkara, adalah terdapat dugaan terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa pelaku, namun tidak ada saksi yang secara langsung melihat dan mendengar saat tindak pidana tersebut dilakukan, sehingga yang paling mengetahui tentang peristiwa tersebut adalah para pelaku sendiri. Dalam hal inilah, diperlukan upaya pembuktian dengan jalan melakukan pemecahan perkara (splitsing) supaya terdapat alat bukti Keterangan Saksi dan mempunyai kekuatan pembuktian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 185 ayat (2) diatas, sehingga pelaku yang satu dapat menjadi saksi terhadap pelaku lain.

Dasar dari dilakukannya pemecahan perkara tersebut tercantum dalam Pasal 142 KUHAP yang menyatakan :
“Dalam hal Penuntut Umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141, Penuntut Umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah.”

 Dalam pasal 142 KUHAP terdapat pengecualian yang tercatum dalam pasal 141 berbunyi:

“Penuntut Umum dapat melakukan pengabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam hal :
  1. Beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungaannya;
  2. Beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain;
  3. Beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan yang lain, akan tetapi yang satu dengan yang lain ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan.

Yang dimaksud dengan “ tindak pidana dianggap mempunyai sangkut paut satu dengan yang lain “ dalam pasal 141 huruf b adalah apabila tindak pidana tersebut dilakukan :

  1. Oleh lebih dari seorang yang bekerja sama dan dilakukan pada saat yang bersamaan;
  2. Oleh lebih dari seorang pada saat dan tempat yang berbeda, akan tetapi merupakan pelaksanaan dan pemufakatan jahat yang dibuat oleh mereka sebelumnya;

Oleh seorang atau lebih dengan maksud mendapat alat yang akan dipergunakan untuk melakukan tindak pidana lainatau menghindarkan diri dari pemidanaan karena tindakpidana lain.

Pasal 142 KUHAP memberikan kewenangan kepada Penuntut Umum untuk melakukan “pemecahan berkas perkara” dari satu berkas perkara menjadi beberapa berkas perkara. Artinya, kewenangan untuk melakukan splitsing berada di tangan Penuntut Umum.

Namun KUHAP tidak memberikan penjelasan lebih lanjut tentang kapankah splitsing tersebut dilakukan oleh Penuntut Umum. Dalam Tambahan Lembaran Negara R.I. No. 3209 tentang Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 7 (KUHAP) Pasal 142 hanya diterangkan “Cukup jelas”.

Apabila diperhatikan redaksi dari Pasal 142 KUHAP, yaitu “..........Penuntut Umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah.”, maka haruslah dilihat tentang pengertian “penuntutan”. Sesuai dengan Pasal 1 angka 7 KUHAP, pengertian “Penuntutan” adalah “tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan”.

Dengan demikian, pelaksanaan splitsing seharusnya memang dilakukan pada saat sebelum Penuntut Umum melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan Negeri sebagaimana diterangkan dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP Penjelasan Pasal 142.
Sehubungan dengan hal tersebut, apabila melihat kewenangan Penuntut Umum, maka hal tersebut diatur dalam Pasal 14 KUHAP sebagai berikut :
  1. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik pembantu;
  2. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan (4), dengan memberikan petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;
  3. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
  4. Membuat surat dakwaan;
  5. Melimpahkan perkara ke pengadilan;
  6. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;
  7. Melakukan penuntutan;
  8. Menutup perkara demi kepentingan hukum;
  9. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang;
  10. Melaksanakan penetapan hakim.

Apabila memperhatikan kewenangan Penuntut Umum diatas, maka sebelum melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan Negeri, maka tugas Penuntut Umum secara ringkas adalah Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan, mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dan membuat surat dakwaan. Mengingat, Penjelasan Pasal 142 menyatakan bahwa biasanya splitsing dilakukan dengan membuat berkas perkara baru dimana para tersangka saling menjadi saksi, sehingga untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan baru, baik terhadap tersangka maupun saksi, maka splitsing dilakukan pada saat Penuntut Umum melakukan kegiatan Prapenuntutan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 14 huruf b KUHAP, yaitu : “Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan (4), dengan memberikan petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik”. Oleh karena itu, Splitsing dilakukan pada saat tahap Prapenuntutan, yaitu ketika Penunut Umum memberikan petunjuk kepada Penyidik untuk memecah berkas perkara.

Hal tersebut disebabkan pemecahan penuntutan perkara (splitsing) seperti yang dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 142 KUHAP biasanya memang dilakukan dengan membuat berkas perkara lagi, sehingga perlu dilakukan kembali pemeriksaan terhadap saksi maupun terhadap terdakwa.54 Dalam hal ini, tugas
untuk menyusun berkas perkara adalah di pihak Penyidik dan bukan di pihak Penuntut Umum, sebagaimana tertuang dalam Pasal 110 ayat (1), yaitu : “Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum.” Oleh karena itu, Penyidik melakukan splitsing atas perintah Penuntut Umum, apabila dari hasil penelitian berkas perkara,Penuntut Umum berpendapat bahwa perkara pidana tersebut perlu dilakukan splitsing.

Hal tersebut juga disebabkan, salah satu urgensi dari pemecahan berkas perkara menjadi berkas perkara yang berdiri sendiri, dimaksudkan untuk menempatkan para terdakwa masing-masing menjadi saksi secara timbal balik diantara sesama mereka. Oleh karena itu, jelas diperlukan kembali pemeriksaan penyidikan. Dalam hal inilah, sekalipun pemecahan berkas perkara dilakukan oleh Penuntut Umum, namun pemeriksaan penyidikan yang diakibatkan pemecahan berkas perkara tetap menjadi wewenang Penyidik.Oleh karena itu, dalam pemecahan berkas perkara dilakukan hal-hal sebagai berikut :
  1. Pemeriksaan penyidikan dilakukan oleh penyidik dengan jalan pihak penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik, dalam arti “penyidikan tambahan”;
  2. Pemeriksaan penyidikan akibat pemecahan berkas perkara dilakukan oleh penyidik berdasar petunjuk yang diberikan oleh penuntut umum;
  3. Tata cara pengembalian berkas, baik yang dilakukan oleh penuntut umum kepada penyidik maupun oleh penyidik kepada penuntut umum dalam rangka pemecahan berkas perkara, berpedoman kepada ketentuan tata cara dan batas-batas tenggang waktu yang ditentukan dalam Pasal 110 ayat (4) dan Pasal 138 ayat (2) KUHAP.

Tidak ada komentar: