Jumat, 20 April 2012

PENGETAHUAN TENTANG HUKUM

Negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Hal yang mendasar dari negara hukum adalah kekuasaan yang berlandaskan hukum dan semua orang sama di hadapan hukum, atau negara yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan dalam kerangka kekuasaan hukum.

Salah satu konsekuensi terhadap hal tersebut adalah pelaksanaan penegakan hukum juga berdasar atas hukum. Artinya, proses penanganan suatu perkara pidana oleh penegak hukum haruslah diatur dalam suatu prosedur hukum yang dikenal dengan hukum acara pidana.

Hukum Acara Pidana merupakan salah satu realisasi pembangunan dan pembinaan di bidang hukum. Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang disahkan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 31 Desember 1981. Dengan disahkannya undang-undang ini, maka ketentuan yang berlaku sebelumnya yaitu Het Herziene Inlandsch Reglement (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44) dihubungkan dengan Undang-undang No.1 Drt. Tahun 1951 dan semua peraturan pelaksanaannya, serta ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya sepanjang hal itu mengenai hukum acara dicabut.
3.      Sehingga untuk pertama kalinya di Indonesia diadakan kodifikasi dan unifikasi yang lengkap dalam arti meliputi seluruh proses pidana dari awal sampai kasasi di Mahkamah Agung, bahkan sampai Peninjauan Kembali.
4.      Pada prinsipnya, proses untuk melakukan penanganan perkara pidana harus dilakukan atas dasar pembuktian. Bahkan dikatakan bahwa masalah hukum adalah masalah pembuktian di persidangan, sehingga peran dari pembuktian di persidangan dalam suatu proses hukum sangatlah penting.
5.      Pembuktian adalah Proses dimana Penuntut umum meyakinkan kepada hakim bahwa terdapat suatu tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Untuk membuktikan kesalahan terdakwa dan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa, dalam Pasal 183 KUHAP dikatakan bahwa “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Dengan demikian, KUHAP mengatur bahwa untuk menentukan salah tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana terhadap terdakwa haruslah terdapat : Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya “dua alat bukti yang sah”; .Dan atas dua alat bukti yang sah tersebut, hakim “memperoleh keyakinan” bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa adalah orang yang melakukannya. Sistem pembuktian inilah yang dikenal dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif atau sistem negative wettelijk
6.      .4 Negatief wetelijk atau yang lebih dikenal dengan sistem pembuktian negatif, adalah sistem pembuktian yang berpedoman pada alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang dan keyakinan hakim dalam memberikan putusan tentang terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.
7.      Berkaitan dengan hal diatas, KUHAP telah mengatur tentang alat bukti yang sah, yang tertuang dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu :
a. keterangan saksi;
b.keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.

Dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP tentang alat bukti sebagaimana diatas disebutkan keterangan saksi dalam urutan pertama. Hal tersebut menunjukkan betapa krusialnya keterangan saksi dalam pembuktian suatu perkara pidana. Dalam prakteknya, hampir semua pembuktian perkara pidana membutuhkan alat bukti berupa keterangan saksi, sehingga kehadiran saksi dalam memberikan keterangannya, baik dalam tahap penyidikan maupun dalam tahap pemeriksaan di persidangan menjadi suatu hal yang sangat penting.

Menurut M. Yahya Harahap, SH, alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi. Sekurang-kurangnya disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

Berkaitan dengan hal tersebut, pembuktian suatu perkara tindak pidana di depan persidangan merupakan tanggung jawab Jaksa selaku Penuntut Umum dan sistem pembuktian dalam hukum acara pidana di hampir semua negara di dunia memang meletakkan beban pembuktian di atas pundak Penuntut Umum.8 Dengan demikian, untuk dapat menyatakan seseorang terbukti melakukan suatu tindak pidana, maka harus ada paling sedikit dua alat bukti ditambah dengan keyakinan Hakim dan menjadi beban Penuntut Umum untuk dapat menghadirkan minumum dua alat bukti tersebut di persidangan untuk memperoleh keyakinan Hakim.

Dalam praktiknya, pembuktian terhadap perkara-perkara tertentu yang  peristiwanya hanya diketahui secara langsung oleh beberapa pelaku tindak pidana  membutuhkan adanya pemecahan perkara, agar pelaku yang satu dapat menjadi  saksi terhadap pelaku lain, sehingga perkara tersebut dapat diperkuat dengan adanya alat bukti keterangan saksi. Hal tersebut sangat penting bagi Penuntut Umum yang berupaya untuk membuktikan tentang terjadinya suatu tindak pidana dan terdakwa merupakan pelakunya sehingga timbul keyakinan Hakim terhadap  hal tersebut. Pengaturan tentang pemecahan perkara tersebut juga telah tercantum dalam KUHAP, yaitu dalam Pasal 142 KUHAP yang rumusannya adalah sebagai berikut :

“Dalam hal Penuntut Umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141, Penuntut Umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah.”

Dengan demikian, Pasal 142 KUHAP memberikan kewenangan kepada Penuntut Umum untuk melakukan “pemecahan berkas perkara” dari satu berkas perkara menjadi beberapa berkas perkara. Pemecahan berkas perkara inilah yang disebut dengan splitsing, yaitu memecah satu berkas perkara menjadi dua atau lebih atau a split trial.


Pada dasarnya, pemecahan berkas perkara terjadi disebabkan faktor pelaku tindak pidana yang terdiri dari beberapa orang. Apabila terdakwa terdiri dari beberapa orang, Penuntut Umum dapat menempuh cara untuk memecah berkas perkara menjadi beberapa berkas perkara sesuai dengan jumlah terdakwa. Pemecahan berkas perkara tersebut dimaksudkan agar antara seorang terdakwa dengan terdakwa yang lain, masing-masing dapat dijadikan sebagai saksi secara timbal balik. Pemecahan berkas perkara tersebut menjadi penting, apabila dalam suatu perkara pidana tidak tersedia alat bukti yang cukup, khususnya dalam hal alat bukti keterangan saksi.

Dalam hal inilah, muncul istilah “saksi mahkota” sebagai alat bukti dalam perkara pidana. Walaupun dalam KUHAP tidak ada definisi otentik mengenai ’saksi mahkota’ (kroon getuige) namun dalam praktiknya keberadaan saksi mahkota tersebut ada dan diakui.

 Saksi mahkota adalah teman terdakwa yang melakukan tindak pidana bersama-sama diajukan sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan Penuntut Umum, yang perkara diantaranya dipisahkan karena kurangnya alat bukti. Dengan kata lain Saksi mahkota disini adalah saksi yang diperlukan untuk pembuktian dalam sidang di pengadilan untuk dua perkara atau lebih, yang saling bergantian dalam perkara yang satu sebagai terdakwa dan dalam perkara yang lain jadi saksi, demikian secara timbal balik.
Penggunaan alat bukti saksi mahkota tersebut hanya dapat dilakukan dalam perkara pidana yang berbentuk penyertaan, dan terhadap perkara pidana tersebut telah dilakukan pemisahan (splitsing) yang didasarkan pada alasan karena kurangnya alat bukti yang akan diajukan oleh penuntut umum.

Tidak ada komentar: