Salah satu
konsekuensi terhadap hal tersebut adalah pelaksanaan penegakan hukum
juga berdasar atas hukum. Artinya, proses penanganan suatu perkara
pidana oleh penegak hukum haruslah diatur dalam suatu prosedur hukum
yang dikenal dengan hukum acara pidana.
Hukum Acara
Pidana merupakan salah satu realisasi pembangunan dan pembinaan di
bidang hukum. Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana yang disahkan oleh Presiden Republik
Indonesia pada tanggal 31 Desember 1981. Dengan disahkannya
undang-undang ini, maka ketentuan yang berlaku sebelumnya yaitu Het
Herziene Inlandsch Reglement (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44)
dihubungkan dengan Undang-undang No.1 Drt. Tahun 1951 dan semua
peraturan pelaksanaannya, serta ketentuan yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan lainnya sepanjang hal itu mengenai hukum acara
dicabut.
3. Sehingga
untuk pertama kalinya di Indonesia diadakan kodifikasi dan unifikasi
yang lengkap dalam arti meliputi seluruh proses pidana dari awal sampai
kasasi di Mahkamah Agung, bahkan sampai Peninjauan Kembali.
4. Pada
prinsipnya, proses untuk melakukan penanganan perkara pidana harus
dilakukan atas dasar pembuktian. Bahkan dikatakan bahwa masalah hukum
adalah masalah pembuktian di persidangan, sehingga peran dari pembuktian
di persidangan dalam suatu proses hukum sangatlah penting.
5. Pembuktian
adalah Proses dimana Penuntut umum meyakinkan kepada hakim bahwa
terdapat suatu tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Untuk
membuktikan kesalahan terdakwa dan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa,
dalam Pasal 183 KUHAP dikatakan bahwa “Hakim tidak boleh menjatuhkan
pidana kepada seseorang apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar
terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Dengan demikian,
KUHAP mengatur bahwa untuk menentukan salah tidaknya seorang terdakwa
dan untuk menjatuhkan pidana terhadap terdakwa haruslah terdapat :
Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya “dua alat bukti yang
sah”; .Dan atas dua alat bukti yang sah tersebut, hakim “memperoleh
keyakinan” bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa
adalah orang yang melakukannya. Sistem pembuktian inilah yang dikenal
dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif atau
sistem negative wettelijk
6. .4
Negatief wetelijk atau yang lebih dikenal dengan sistem pembuktian
negatif, adalah sistem pembuktian yang berpedoman pada alat bukti yang
telah ditentukan oleh undang-undang dan keyakinan hakim dalam memberikan
putusan tentang terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang
didakwakan kepada terdakwa.
7. Berkaitan dengan hal diatas, KUHAP telah mengatur tentang alat bukti yang sah, yang tertuang dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu :
a. keterangan saksi;
b.keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
Dalam
Pasal 184 ayat (1) KUHAP tentang alat bukti sebagaimana diatas
disebutkan keterangan saksi dalam urutan pertama. Hal tersebut
menunjukkan betapa krusialnya keterangan saksi dalam pembuktian suatu
perkara pidana. Dalam prakteknya, hampir semua pembuktian
perkara pidana membutuhkan alat bukti berupa keterangan saksi, sehingga
kehadiran saksi dalam memberikan keterangannya, baik dalam tahap
penyidikan maupun dalam tahap pemeriksaan di persidangan menjadi suatu
hal yang sangat penting.
Menurut M.
Yahya Harahap, SH, alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang
paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada perkara
pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir
semua pembuktian perkara pidana, selalu bersandar kepada pemeriksaan
keterangan saksi. Sekurang-kurangnya disamping pembuktian dengan alat
bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti
keterangan saksi.
Berkaitan
dengan hal tersebut, pembuktian suatu perkara tindak pidana di depan
persidangan merupakan tanggung jawab Jaksa selaku Penuntut Umum dan
sistem pembuktian dalam hukum acara pidana di hampir semua negara di
dunia memang meletakkan beban pembuktian di atas pundak Penuntut Umum.8
Dengan demikian, untuk dapat menyatakan seseorang terbukti melakukan
suatu tindak pidana, maka harus ada paling sedikit dua alat bukti
ditambah dengan keyakinan Hakim dan menjadi beban Penuntut Umum untuk
dapat menghadirkan minumum dua alat bukti tersebut di persidangan untuk
memperoleh keyakinan Hakim.
Dalam
praktiknya, pembuktian terhadap perkara-perkara tertentu yang
peristiwanya hanya diketahui secara langsung oleh beberapa pelaku
tindak pidana membutuhkan adanya pemecahan perkara, agar pelaku yang
satu dapat menjadi saksi terhadap pelaku lain, sehingga perkara
tersebut dapat diperkuat dengan adanya alat bukti keterangan saksi. Hal
tersebut sangat penting bagi Penuntut Umum yang berupaya untuk
membuktikan tentang terjadinya suatu tindak pidana dan terdakwa
merupakan pelakunya sehingga timbul keyakinan Hakim terhadap hal
tersebut. Pengaturan tentang pemecahan perkara tersebut juga telah
tercantum dalam KUHAP, yaitu dalam Pasal 142 KUHAP yang rumusannya
adalah sebagai berikut :
“Dalam
hal Penuntut Umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa
tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak
termasuk dalam ketentuan Pasal 141, Penuntut Umum dapat melakukan
penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah.”
Dengan
demikian, Pasal 142 KUHAP memberikan kewenangan kepada Penuntut Umum
untuk melakukan “pemecahan berkas perkara” dari satu berkas perkara
menjadi beberapa berkas perkara. Pemecahan berkas perkara inilah yang
disebut dengan splitsing, yaitu memecah satu berkas perkara menjadi dua
atau lebih atau a split trial.
Pada dasarnya,
pemecahan berkas perkara terjadi disebabkan faktor pelaku tindak pidana
yang terdiri dari beberapa orang. Apabila terdakwa terdiri dari
beberapa orang, Penuntut Umum dapat menempuh cara untuk memecah berkas
perkara menjadi beberapa berkas perkara sesuai dengan jumlah terdakwa.
Pemecahan berkas perkara tersebut dimaksudkan agar antara seorang
terdakwa dengan terdakwa yang lain, masing-masing dapat dijadikan
sebagai saksi secara timbal balik. Pemecahan berkas perkara tersebut
menjadi penting, apabila dalam suatu perkara pidana tidak tersedia alat
bukti yang cukup, khususnya dalam hal alat bukti keterangan saksi.
Dalam hal
inilah, muncul istilah “saksi mahkota” sebagai alat bukti dalam perkara
pidana. Walaupun dalam KUHAP tidak ada definisi otentik mengenai ’saksi
mahkota’ (kroon getuige) namun dalam praktiknya keberadaan saksi mahkota
tersebut ada dan diakui.
Saksi mahkota
adalah teman terdakwa yang melakukan tindak pidana bersama-sama
diajukan sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan Penuntut Umum, yang
perkara diantaranya dipisahkan karena kurangnya alat bukti. Dengan kata
lain Saksi mahkota disini adalah saksi yang diperlukan untuk pembuktian
dalam sidang di pengadilan untuk dua perkara atau lebih, yang saling
bergantian dalam perkara yang satu sebagai terdakwa dan dalam perkara
yang lain jadi saksi, demikian secara timbal balik.
Penggunaan
alat bukti saksi mahkota tersebut hanya dapat dilakukan dalam perkara
pidana yang berbentuk penyertaan, dan terhadap perkara pidana tersebut
telah dilakukan pemisahan (splitsing) yang didasarkan pada alasan karena
kurangnya alat bukti yang akan diajukan oleh penuntut umum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar