Jumat, 20 April 2012

ASPEK HUKUM PINJAM MEMINJAM UANG

Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah dijelaskan bahwa tujuan nasional adalah membentuk pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaiaan abadi, dan keadilan sosial.

Sesuai dengan hal tersebut di atas, maka bangsa Indonesia telah melakukan pembangunan untuk mewujudkan tujuan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur secara materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Usaha yang telah dilakukan pemerintah tersebut salah satunya adalah meningkatkan taraf hidup masyarakat Indonesia, khususnya dalam bidang sosial dan ekonomi yakni dengan memberikan pinjaman melalui jalur perkreditan baik masyarakat yang membutuhkan tambahan modal. Wujud daripada hal tersebut salah satu sasaranya adalah koperasi.

Di samping lembaga lain seperti bank atau pengadilan, koperasi sebagai urat nadi perekonomian bangsaIndonesia.2 Sebagai urat nadi perekonomian maka koperasi selalu bertindak untuk melindungi mereka masyarakat yang ekonominya lemah yang menjadi anggota koperasinya.

Perkoperasian. Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992:

“Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan.”

Salah satu caranya dengan cara mengajukan pinjaman uang kepada koperasi atau yang dikenal dengan pinjaman kredit, kata kredit berasal dari Romawi “Credere” artinya percaya. Ketentuan mengenai perjanjian kredit diatur dalam Pasal 1 angka 11 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yaitu:

“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antar pihak bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberi bunga.”
Perjanjian pinjam meminjam merupakan acuan dari perjanjian kredit, pengertian perjanjian pinjam meminjam menurut Pasal 1754 KUH Perdata adalah:

“Suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberi kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabiskan karena pemakaian dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akanmengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula.”

Berdasarkan hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa perjanjian pinjam uang merupakan suatu perjanjian antar orang atau badan usaha dengan seseorang dimana pihak peminiam diberikan sejumlah uang dengan jaminan tertentu dan di kemudian hari mengembalikan kepada yang meminjamkan dengan imbalan atau bunga tertentu.

Dalam membuat perjanjian kredit terdapat berbagai judul dalam praktek perbankan tidak sama, ada yang menggunakan judul perjanjian kredit, akad kredit, persetujuan pinjam uang, persetujuan membuka kredit dan lain sebagainya. Meskipun judul dari perjanjian pinjam meminjam uang itu berbeda tetapi secara yuridie isi perjanjian pada hakekatnya sama yaitu memberikan pinjaman uang

Di dalam praktek sebelum memberikan kredit, pihak kreditur biasanya melakukan penelitian terlebih dahul atau yang lebih dikenal dengan istilah 5C terhadap 
  1. Character (watak).
  2. Capacity (kemampuan), 
  3. Capital (modal), 
  4. Collateral (angunan) dan 
  5. Condition of economic (prospek usaha debitur)
Hal ini bisa dimaklumi karena setiap pemberian kredit melalui lembaga perkreditan memerlukan suatu kepastian hukum. Seperti pendapat Prof Dr Sri Soedewi Masichoen Sofwan:

“Dalam rangka pembangunan ekonomi bidang hukum yang meminta perhatian serius dalam pembinaan hukumnya diantaranya ialah lembaga jaminan, karena perkembangan ekonomi dan perdangan akan diikuti oleh perkembangan kebutuhan akan kredit dan pemberian fasilitas kredit ini memerlukan jaminan demi keamanan pemberi kredit ini.”

KETERBUKAAN INFORMASI DI PENGADILAN

Bahwa proses peradilan yang transparan merupakan salah satu syarat mewujudkan keterbukaan dan akuntablitas penyelenggaraan peradilan, dan untuk menjamin agar hal tersebut  terlaksana sebagaimana mestinya, telah diatur dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.

Dalam Keputusan Mahkamah Agung yang dimaksud dengan:
Informasi adalah : Segala sesuatu yang dapat dikomunikasikan atau yang dapat menerangkan sesuatu dalam bentuk atau format apapun;
Pemohon adalah : Orang yang mengajukan permohonan informasi kepada pejabat Pengadilan;
  1. Orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum;
  2. Pengadilan adalah Pengadilan seluruh lingkungan dan tingkatan peradilan, kecuali secara tegas dinyatakan lain;
  3. Hakim adalah hakim seluruh lingkungan dan tingkatan peradilan;
  4. Pegawai adalah pegawai negeri yang

HAK MASYARAKAT DAN KEWAJIBAN PENGADILAN

Hak Masyarakat atas Informasi Pengadilan  yang diatur di dalam
KEPUTUSAN KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 144/KMA/SK/VIII/2007 TAHUN 2007

Pasal 2
Setiap orang berhak memperoleh informasi dari Pengadilan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Standar Pelayanan dan Pendokumentasian
Pasal 3
(1) Pengadilan menyediakan informasi yang bersifat terbuka dan dapat diakses oleh
publik.
(2) Pengadilan tidak dapat mewajibkan menyebutkan tujuan atau alasan mengajukan
permohonan informasi yang secara tegas dinyatakan sebagai informasi yang bersifat
terbuka dan dapat diakses oleh publik.

INFORMASI YANG HARUS DIUMUMKAN PENGADILAN
Jenis Informasi Yang Harus Diumumkan
Pasal 6
(1) Informasi yang harus diumumkan oleh setiap Pengadilan setidaknya meliputi
informasi:
  1. gambaran umum Pengadilan yang, antara lain, meliputi: fungsi, tugas, yurisdiksi dan struktur organisasi Pengadilan tersebut serta telepon, faksimili, nama dan jabatan pejabat Pengadilan non Hakim;
  2. gambaran umum proses beracara di Pengadilan;
  3. hak-hak pencari keadilan dalam proses peradilan;
  4. biaya yang berhubungan dengan proses penyelesaian perkara serta biaya hak-hak kepaniteraan sesuai dengan kewenangan, tugas dan kewajiban Pengadilan;
  5. putusan dan penetapan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap;
  6. putusan dan penetapan Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tingkat Banding yang belum berkekuatan hukum tetap dalam perkara-perkara tertentu.
  7. agenda sidang pada Pengadilan Tingkat Pertama;
  8. agenda sidang pembacaan putusan, bagi Pengadilan Tingkat Banding dan Pengadilan Tingkat Kasasi;
  9. mekanisme pengaduan dugaan pelanggaran yang dilakukan Hakim dan Pegawai;
  10. hak masyarakat dan tata cara untuk memperoleh informasi di Pengadilan.

(2) Perkara-perkara tertentu sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf f adalah:

  1. korupsi;
  2. terorisme;
  3. narkotika/psikotropika;
  4. pencucian uang; atau
  5. perkara lain yang menarik perhatian publik atas perintah Ketua Pengadilan.

(3) Informasi yang harus diumumkan oleh Mahkamah Agung selain dari yang disebutkan
dalam ayat (1) adalah:

  1. Peraturan Mahkamah Agung;
  2. Surat Edaran Mahkamah Agung;
  3. Yurisprudensi Mahkamah Agung;
  4. laporan tahunan Mahkamah Agung;
  5. rencana strategis Mahkamah Agung;
  6. pembukaan pendaftaran untuk pengisian posisi Hakim atau Pegawai.

INFORMASI YANG DAPAT DIAKSES PUBLIK
Pasal 14
Informasi sebagaimana diatur dalam bab ini adalah informasi terbuka dan dapat diakses
secara langsung oleh publik melalui petugas informasi dan dokumentasi tanpa perlu
meminta persetujuan dari pejabat penanggungjawab, kecuali jika secara tegas dinyatakan
sebaliknya.

Informasi tentang Perkara
Pasal 15
Informasi perkara yang terbuka adalah:
  1. putusan dan penetapan Pengadilan baik yang telah berkekuatan hukum tetap maupun yang belum berkekuatan hukum tetap dalam perkara-perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2);
  2. tahapan suatu perkara dalam proses pengelolaan perkara;
  3. data statistik perkara.


Pasal 16
Selain perkara-perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), fotokopi salinan
putusan dan penetapan Pengadilan yang belum berkekuatan hukum tetap dapat diberikan
untuk keperluan resmi lembaga negara, keperluan penelitian atau keperluan lain yang
dipandang layak atas ijin Ketua Pengadilan.
Pasal 17
(1) Sebelum memberikan fotokopi putusan dan penetapan pengadilan kepada Pemohon,
petugas informasi dan dokumentasi harus mengaburkan informasi yang memuat
identitas para pihak berperkara, saksi, korban, pihak terkait, terdakwa atau terpidana
dalam perkara-perkara sebagaimana dimaksud Pasal 8, 9 dan 10.
(2) Pengaburan informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan cara
menghitamkan bagian informasi tersebut sehingga tidak dapat dibaca.

Pasal 22
(1) Selain informasi yang harus dibuat agar diketahui umum dan informasi terbuka
sebagaimana diatur dalam Keputusan ini, informasi lain hanya dapat diakses publik
dengan ijin penanggungjawab.
(2) Pejabat Penanggung Jawab dapat memberikan ijin memberikan suatu informasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sepanjang informasi tersebut tidak akan
merugikan:
  1. privasi seseorang;
  2. kepentingan komersial seseorang atau badan hukum;
  3. upaya penegakan hukum;
  4. proses penyusunan kebijakan;
  5. pertahanan, keamanan dan hubungan luar negeri negara Indonesia;
  6. ketahanan ekonomi nasional.

Biaya
Pasal 27
Pengadilan hanya dapat membebani Pemohon sekedar biaya fotokopi atau biaya cetak
(print) yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan berdasarkan biaya yang berlaku secara
umum.

Prosedur Cepat
Pasal 29

Keterangan sebagaimana dimaksud Pasal 25 dan 26 tidak diperlukan apabila:
  1. informasi yang dimohon sudah tersedia di Pengadilan tersebut;
  2.  informasi yang dimohon tidak termasuk dalam kategori informasi dengan volume besar, sedang dalam proses pembuatan atau memerlukan konsultasi lebih lanjut dengan penanggungjawab;
  3. pemohon bersedia membayar secara langsung perkiraan biaya untuk menyalin informasi



KEBERATAN
Bagian Pertama
Dasar Keberatan
Pasal 30
Setiap Pemohon dapat mengajukan keberatan dalam hal:
  1. permohon ditolak dengan alasan informasi tersebut tidak dapat diakses publik;
  2. tidak tersedia informasi yang harus diumumkan sebagaimana diatur dalam Pasal6;
  3. permohonan informasi tidak ditanggapi sebagaimana mestinya;
  4. pengenaan biaya yang melebihi dari yang telah ditetapkan Ketua Pengadilan; atau
  5.  informasi tidak diberikan sekalipun telah melebihi jangka waktu yang diatur dalam ketentuan ini.

Prosedur Keberatan
Pasal 31
(1) Pemohon dapat mengajukan keberatan kepada penanggungjawab selambatlambatnya
7 (tujuh) hari kerja setelah terjadi hal-hal sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 30.
(2) Dalam hal pemohon mengajukan keberatan atas keputusan yang ditetapkan oleh
penanggungjawab pada Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tingkat
Banding, maka keberatan diajukan ke penanggungjawab pada Mahkamah Agung.

Pasal 32
Penanggungjawab memberikan jawaban selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah
diterimanya keberatan tersebut.

SISTEM PEMBUKTIAN BERDASARKAN KUHAP

Pengertian “pembuktian” secara umum adalah ketentuan-ketentuan yang yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang dalam membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan oleh hakim guna membuktikan kesalahan yang didakwakan.

Mengenai pengertian dari kata pembuktian dapat dijumpai dalam pendapat para sarjana antara lain :

R. Soebekti, menyatakan bahwa :
Yang dimaksud dengan “membuktikan” ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.36

Martiman Prodjohamidjojo, menyatakan :
“membuktikan” mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran suatu peristiwa sehingga dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut.

Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka yang dimaksud dengan pembuktian adalah suatu kebenaran atau dalil yang diajukan ke depan sidang.

Dalil yang dimaksud itu dapat berupa alat bukti yang sah, dan diajukan ke depan persidangan. Dengan demikian pembuktian merupakan suatu kebenaran dari alat bukti yang sah, untuk dinyatakan bersalah atau tidaknya terdakwa atas tindak pidana yang didakwakan. Masalah pembuktian tentang benar tidaknya seorang terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan merupakan bagian terpenting dari acara pidana, karena hak asasi manusia (terdakwa) akan dipertaruhkan. Dalam hal inilah hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, yang berbeda dengan hukum acara perdata yang hanya sebatas pada kebenaran formal. Senada dengan hal tersebut, Van Bemmelen mengemukakan tiga fungsi hukum acara pidana yaitu :
  1. Mencari dan menemukan kebenaran;
  2. Pemberian keputusan oleh hakim;
  3. Pelaksanaan keputusan.

Dari ketiga fungsi tersebut, yang paling penting adalah fungsi “mencari kebenaran” karena hal tersebut merupakan tumpuan kedua fungsi berikutnya. Setelah menemukan kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti dan barang bukti, maka hakim akan sampai kepada putusan yang selanjutnya akan dilaksanakan oleh Jaksa.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tujuan hukum acara pidana, termasuk KUHAP adalah untuk mencari kebenaran dengan melakukan pembuktian.

Secara teoritis, dikenal empat macam sistem pembuktian dalam perkara pidana, yaitu sebagai berikut :39
    1. Conviction in time, adalah sistem pembuktian yang berpedoman pada keyakinan hakim an sich dalam memberikan putusan tentang terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.
    2. Conviction in Raisonee, adalah sistem pembuktian yang berpedoman pada keyakinan hakim dalam memberikan putusan tentang terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Faktor keyakinan hakim dalam sistem pembuktian ini harus didasarkan pada alasan-alasan yang logis (reasonable). Hal ini yang membedakan dengan sistem pembuktian yang pertama.
    3. Positief wetelijk stelsel atau yang lebih dikenal dengan sistem pembuktian posiitf, adalah sistem pembuktian yang berpedoman pada alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang dalam memberikan putusan tentang terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.
    4. Negatief wetelijk stelsel atau yang lebih dikenal dengan sistem pembuktian negatif, adalah sistem pembuktian yang berpedoman pada alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang dan keyakinan hakim dalam memberikan putusan tentang terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.

Adapun sistem Pembuktian yang diatur dalam KUHAP tercantum dalam Pasal 183 yang rumusannya adalah sebagai berikut : ” Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukannya.”

Dari rumusan Pasal 183 tersebut, terlihat bahwa pembuktian harus didasarkan sedikitnya pada dua alat bukti yang sah, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut. Artinya, tersedianya minimum dua alat bukti saja, belum cukup untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Sebaliknya, meskipun hakim sudah yakin terhadap kesalahan terdakwa, maka jika tidak tersedia minimum dua alat bukti, hakim juga belum dapat menjatuhkan pidana terhadap terdakwa. Dalam hal inilah penjatuhan pidana terhadap seorang terdakwa haruslah memenuhi dua syarat mutlak, yaitu alat bukti yang cukup dan keyakinan hakim. Sistem pembuktian tersebut terkenal dengan nama sistem negative wettelijk.

Dalam Penjelasan Pasal 183 KUHAP tersebut dinyatakan bahwa Pembentuk Undang Undang telah menentukan pilihan bahwa sistem pembuktian yang paling tepat dalam kehidupan penegakan hukum di Indonesia adalah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif, semi tegaknya keadilan, kebenaran dan kepastian hukum. Karena dalam sistem pembuktian ini, terpadu kesatuan penggabungan antara sistem conviction-in time (sistem pembuktian yang hanya bersandar atas keyakinan hakim) dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief wettelijk stelsel).

Ketentuan dalam Pasal 183 KUHAP tersebut hampir identik dengan ketentuan dalam Pasal 6 UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu :
“Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.”

Oleh karena itu, konsep keyakinan hakim tersebut baru dapat terbentuk dengan didasarkan pada adanya alat bukti yang sah menurut KUHAP. Keyakinan hakim yang akan terbentuk tersebut pada akhirnya nanti hanya terdiri dari dua macam, yaitu keyakinan bahwa terdakwa tidak terbukti bersalah atau sebaliknya keyakinan bahwa terdakwa terbukti bersalah.

Aktualisasi dari kombinasi kedua konsep dalam ketentuan pasal 183 KUHAP tersebut dapat dilihat dalam rumusan kalimat baku setiap diktum putusan perkara pidana yang menyatakan “secara sah dan meyakinkan”. Kata “sah” dalam hal ini berarti bahwa hakim dalam memberikan putusan tersebut didasarkan pada alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam KUHAP dan peraturan perundang-undangan lainnya. Sedangkan kata “meyakinkan” dalam hal ini berarti bahwa dari alat bukti yang sah tersebut maka terbentuk keyakinan hakim.

Rumusan sistem pembuktian tersebut tentunya untuk mendukung tujuan dari hukum acara pidana, yaitu untuk mencari dan memperoleh kebenaran materiil. Dengan tercapainya kebenaran materiil maka akan tercapai pula tujuan akhir hukum acara pidana, yaitu untuk mencapai suatu ketertiban, ketentraman, keadilan dan kesejahteraan dalam masyarakat.Adapun yang dimaksud dengan alat-alat bukti yang sah adalah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu :
  1. keterangan saksi;
  2. keterangan ahli;
  3.  surat;
  4. petunjuk;
  5. keterangan terdakwa.

Dengan demikian, untuk dapat menjatuhkan pemidanaan kepada seseorang haruslah terdapat minimal dua alat bukti dari lima alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP yang mengatur secara limitatif alat bukti yang sah menurut undang-undang. Hal tersebut diatas, juga mengisyaratkan bahwa KUHAP juga menganut prinsip Batas Minimum Pembuktian yang mengatur batas tentang keharusan yang dipenuhi dalam membuktikan kesalahan terdakwa.
Selain kelima alat bukti tersebut, tidak dibenarkan untuk dipergunakan dalam pembuktian kesalahan terdakwa. Alat bukti yang dibenarkan dan mempunyai kekuatan pembuktian hanyalah kelima alat bukti tersebut. Pembuktian dengan alat bukti diluar kelima alat bukti diatas, tidak mempunyai nilai serta tidak mempunyai kekuatan yang mengikat. Dalam hal ini, baik Hakim, Penuntut Umum, terdakwa maupun Penasehat Hukum, semuanya terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang.(Kamal Najmi)

“PEMECAHAN PERKARA PIDANA (SPLITSING) DALAM PROSES PEMBUKTIAN”

Hukum Acara Pidana di Indonesia
Upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi (hukum) pidana merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri, bahkan ada yang mengatakan bahwa hukum pidana merupakan the older philosophy of crime control. Sampai saat ini pun, hukum pidana masih digunakan dan “diandalkan” sebagai salah satu sarana politik kriminal.12 Hal tersebut dapat dilihat dari adanya ancaman pidana pada hampir setiap produk perundang-undangan yang dikeluarkan oleh badan legislatif negara ini, meskipun produk perundang-undangan tersebut tidak termasuk dalam perundang-undangan yang tidak mengatur secara spesifik tentang suatu tindak pidana.

Dengan demikian, hukum pidana hampir selalu digunakan untuk “menakut-nakuti” atau mengamankan berbagai kebijakan yang timbul di berbagai bidang terutama dalam menanggulangi kejahatan. Fenomena tersebut memberi kesan seolah-olah suatu peraturan akan kurang sempurna atau “hambar” apabila tidak disertai dengan ketentuan pidana.
Dalam ruang lingkup hukum pidana yang luas, baik hukum pidana substantif (materiil) maupun hukum acara pidana (hukum pidana formal) disebut hukum pidana. Hukum acara pidana berfungsi untuk menjalankan hukum pidana substantif (materiil), sehingga disebut hukum pidana formal atau hukum acara pidana.

Pompe merumuskan hukum pidana (materiil) sebagai keseluruhan peraturan hukum yang menunjukkan perbuatan mana yang seharusnya dikenakan pidana dan di mana pidana itu seharusnya menjelma. Sedangkan hukum acara pidana tersebut mengatur tentang bagaimana negara melalui alat-alat (lembaga-lembaga) melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana.14

Wirjono Projodikoro mengemukakan bahwa hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana, sehingga merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana.

Di Indonesia, ketentuan acara pidana diatur dalam Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang kita kenal dengan KUHAP disahkan pada tanggal 31 Desember 1981 dalam Lembaran Negara 1981 Nomor 76, TLN Nomor 3209. Sebagai induk hukum acara pidana di Indonesia, KUHAP berfungsi untuk menjalankan hukum pidana substantif (materiil), sehingga disebut hukum pidana formal atau hukum acara pidana.16 Artinya proses penanganan perkara tindak pidana yang diatur dalam perundang-undangan pidana di Indonesia, mulai dari penyidikan, penuntutan sampai dengan eksekusi, haruslah mengacu kepada KUHAP, sepanjang di dalam perundangan tersebut tidak mengatur tentang acara pidana. Apabila dalam suatu perundang-undangan pidana sebagai suatu hukum pidana materiil di dalamnya juga mengatur tentang hukum acara pidana yang menyimpang dari KUHAP, maka hukum acara pidana di dalam undang undang itulah yang digunakan. Hal tersebut sesuai dengan asas Lex specialis derogat legi generali atau ketentuan yang khusus mengalahkan ketentuan yang umum.


Dengan terciptanya KUHAP, maka untuk pertama kalinya di Indonesia diadakan kodifikasi dan unifikasi yang lengkap dalam arti meliputi seluruh proses pidana dari awal sampai pada kasasi di Mahkamah Agung, bahkan sampai meliputi Peninjauan Kembali
 Pada prinsipnya, terdapat 10 asas yang menjadi acuan kebenaran atau ajaran dari kaidah-kaidah dalam KUHAP, yaitu :

  1. Asas equality before the law, yaitu perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum.
  2. Asas legalitas dalam upaya paksa, yaitu penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan undang-undang;
  3. Asas presumption of innocence, yaitu setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di muka pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
  4. Asas remedy and rehabilitation, yaitu terhadap seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan/atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diberikan, wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman administrasi.
  5. Asas fair, impartial, impersonal, and objective, yaitu peradilan harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.
  6. Asas legal assistance, yaitu setiap orang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya.
  7.  Miranda Rule, yaitu kepada seorang tersangka sejak dilakukan penangkapan dan atau penahanan selain wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum apa yang didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahu haknya termasuk hak untuk menghubungi dan meminta bantuan penasehat hukumnya.
  8. Asas presentasi, yaitu pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa.
  9. Asas keterbukaan, sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali dalam hal yang diatur dalam undang-undang.
  10. Asas pengawasan, yaitu pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh ketua pengadilan negeri yang bersangkutan.

 Kesepuluh asas tersebut dalam praktiknya tidak terlepas dari desain prosedur (procedural design) sistem peradilan pidana yang terdapat dalam KUHAP.
Sistem Peradilan Pidana yang digariskan oleh KUHAP tersebut merupakan ”sistem terpadu” (integrated criminal justice system). Sistem terpadu tersebut diletakkan di atas landasan prinsip ”diferensiasi fungsional” di antara aparat penegak hukum kepada masing-masing penegak hukum.20

Prinsip diferensiasi fungsional adalah penegasan pembagian tugas wewenang antara jajaran aparat penegak hukum secara instansional. KUHAP meletakkan suatu asas ”penjernihan” (clarification) dan ”modifikasi” (modification) fungsi dan wewenang antara setiap instansi penegak hukum. Penjernihan pengelompokan tersebut, diatur sedemikian rupa sehingga tetap terbina saling korelasi dan koordinasi dalam proses penegakan hukum yang saling berkaitan dan berkelanjutan antara satu instansi dengan instansi yang lain, sampai ke taraf proses pelaksanaan eksekusi dan pengawasan pengamatan pelaksanaan eksekusi. Mulai dari taraf dan permulaan penyidikan oleh kepolisian sampai kepada pelaksanaan putusan pengadilan oleh Kejaksaan, selalu terjalin atas hubungan fungsi yang berkelanjutan yang akan menciptakan suatu mekanisme saling cek di antara sesama penegak hukum dalam suatu rangkaian integrated criminal justice system. Penjernihan diferensiasi fungsi dan wewenang tersebut pada akhirnya menciptakan pemisahan wewenang yang tegas dalam proses peradilan pidana, yaitu :
  1. Kepolisian dalam hal penyidikan ;
  2. Kejaksaan dalam hal penuntutan dan pelaksanaan putusan pengadilan ;
  3. Pengadilan dalam hal pemeriksaan dan putusan pidana ;
  4. Lembaga Pemasyarakatan dalam hal pembinaan dan pemasyarakatan terpidana.

Proses Peradilan Pidana di Indonesia
Dalam melakukan suatu penanganan perkara pidana, terdapat sebuah rangkaian peradilan pidana yang terbagi atas beberapa tahap. Dalam KUHAP, tahap-tahap penanganan perkara tersebut terdiri dari Penyelidikan, Penyidikan, Penuntutan, Pemeriksaan di Persidangan, Putusan Hakim (Vonis), Upaya Hukum dan diakhiri dengan pelaksanaan putusan.

Sesuai dengan Pasal 1 butir 5 KUHAP, yang dimaksud dengan Penyelidikan adalah ”serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.” Dengan demikian, penyelidikan adalah tindakan yang mendahului penyidikan, dan merupakan tahap pertama dalam hukum acara pidana yang bertujuan mencari kebenaran.

Sedangkan dalam Pasal 1 butir 2 KUHAP diterangkan bahwa Penyidikan adalah “serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”

Secara etimologis istilah “penyidikan” merupakan persamaan kata opsporing dalam Bahasa Belanda atau investigation dalam bahasa Inggris.

Penyidikan berasal dari kata “sidik’ dan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti penyelidikan untuk mengetahui dan membedakan orang. Sedangkan menyidik berarti memeriksa, menyelidiki, mengamati

Istilah penyidikan pertama kali digunakan sebagai istilah hukum sejak tahun 1961 seiring dengan terbitnya Undang Undang Nomor 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Kepolisian Negara. Namun dalam undang-undang tersebut tidak diatur pengertian tentang istilah ”penyidikan” dan hanya diatur tentang wewenang POLRI dalam tahap penyidikan.23 Adapun yang dapat disebut sebagai ”Penyidik” diatur dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP yang berbunyi :

”Penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.”

Dengan demikian, secara umum yang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan suatu tindak pidana adalah Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), namun untuk tindak pidana tertentu ada juga lembaga lain yang diberi kewenangan oleh undang-undang tertentu untuk melakukan penyidikan. Hal tersebut dipertegas dalam Pasal 6 KUHAP yang menyebutkan dua macam pejabat yang diserahi wewenang penyidikan yaitu :
  1. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan
  2. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.

 Selanjutnya pengertian tentang ”Penuntutan” diatur dalam Pasal 1 angka 7 KUHAP yaitu
 ”Tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.”

Dalam hal melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan, maka berdasarkan Ketentuan Umum KUHAP Pasal 1 angka 6 dijelaskan sebagai berikut :
Pasal 1 angka 6
  1. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
  2. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Oleh karena itu, selain menjalankan penuntutan, Kejaksaan juga mempunyai wewenang
Melaksanakan putusan melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan melaksanakan penetapan hakim.

Kemudian dalam Pasal 1 angka 9 KUHAP ditentukan bahwa yang dimaksud dengan mengadili adalahSrangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang undang ini.

Adapun putusan Hakim dalam suatu perkara pidana dapat berupa hal-hal sebagai berikut :

  1. Pemidanaan, apabila pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Hal tersebut diatur dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP.
  2. Bebas atau vrijspraak, apabila pengadilan berpendapat bahwa kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP.
  3. Lepas dari Segala Tuntutan Hukum atau onslag van alle rechtsvervolging, apabila pengadilan berpendapat bahwa kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu perbuatan pidana. Hal tersebut diatur dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP.

Selanjutnya, apabila Penuntut Umum ataupun terdakwa merasa tidak sependapat dengan putusan Hakim, maka dapat dilakukan upaya hukum yang yang terdiri dari :
  1. Upaya hukum biasa yaitu Banding dan Kasasi ;
  2. Upaya hukum Luar Biasa yaitu Kasasi Demi Kepentingan Hukum dan Peninjauan Kembali;
  3. Upaya hukum konstitusional yaitu amnesty, abolisi, grasi dan rehabilitasi.

Kemudian setelah suatu perkara pidana telah mendapatkan kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewisjde), dilakukan pelaksanaan putusan pidana atau eksekusi yang merupakan Tanggung Jawab Jaksa (Pasal 270 jo Pasal 1 butir 6a KUHAP) dan bertindak berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan dan kesusilaan serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Pemecahan Perkara (Splitsing) dan Keberadaan Saksi Mahkota

Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa dalam Pasal 184 KUHAP terdapat lima alat bukti yang sah untuk dijadikan dasar terhadap pembuktian adanya suatu tindak pidana. Berkaitan dengan hal tersebut, alat bukti yang paling paling mudah dan paling sering dipergunakan adalah Keterangan Saksi. Dalam prakteknya, hampir semua pembuktian perkara pidana membutuhkan alat bukti berupa keterangan saksi dan pada umumnya alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan

Saksi. Sekurang-kurangnya disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.25 Akan tetapi tidak semua keterangan saksi memiliki nilai dan kekuatan sebagai alat bukti. Misalnya saja keterangan saksi di luar apa yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri. Selain itu, keterangan saksi yang diperoleh dari pendengaran orang lain (testimonium de auditu) juga tidak mempunyai kekuatan pembuktian. Begitu pula opini atau rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saksi yang bersangkutan. Keterangan saksi demikian tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti di persidangan.


Kemudian sesuai dengan Pasal 185 ayat (2) KUHAP, maka keterangan seorang saksi saja, belum dapat dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Hal tersebut dikenal dengan ungkapan Unus Tetis Nullus Tetis (satu saksi bukan saksi).Artinya, jika alat bukti yang tersedia hanya terdiri dari seorang saksi saja tanpa ditambah dengan keterangan saksi yang lain atau alat bukti yang lain, maka “kesaksian tunggal” tersebut tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa.

Permasalahan yang muncul di dalam praktek penanganan perkara, adalah terdapat dugaan terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa pelaku, namun tidak ada saksi yang secara langsung melihat dan mendengar saat tindak pidana tersebut dilakukan, sehingga yang paling mengetahui tentang peristiwa tersebut adalah para pelaku sendiri. Dalam hal inilah, diperlukan upaya pembuktian dengan jalan melakukan pemecahan perkara supaya terdapat alat bukti Keterangan Saksi dan mempunyai kekuatan pembuktian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 185 ayat (2) diatas, sehingga pelaku yang satu dapat menjadi saksi terhadap pelaku lain.
Dalam Pasal 142 KUHAP dikatakan :
“Dalam hal Penuntut Umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141, Penuntut Umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah.”

Dengan demikian, Pasal 142 KUHAP memberikan kewenangan kepada Penuntut Umum untuk melakukan “pemecahan berkas perkara” dari satu berkas perkara menjadi beberapa berkas perkara. Pemecahan berkas perkara inilah yang disebut dengan splitsing, yaitu memecah satu berkas perkara menjadi dua atau lebih atau a split trial.

Pada dasarnya, pemecahan berkas perkara terjadi disebabkan faktor pelaku tindak pidana yang terdiri dari beberapa orang. Apabila terdakwa terdiri dari beberapa orang, Penuntut Umum dapat menempuh cara untuk memecah berkas perkara menjadi beberapa berkas perkara sesuai dengan jumlah terdakwa, sehingga :
  1. Berkas yang semula diterima Penuntut Umum dari Penyidik, dipecah menjadi dua atau beberapa berkas perkara;
  2. Pemecahan dilakukan apabila yang menjadi terdakwa dalam perkara tersebut, terdiri dari beberapa orang. Dengan pemecahan berkas dimaksud, masing-masing terdakwa didakwa dalam satu surat dakwaan yang berdiri sendiri antara yang satu dengan yang lain;
  3. Pemeriksaan perkara dalam pemecahan berkas perkara, tidak lagi dilakukan bersamaan dengan suatu persidangan. Masing-masing terdakwa diperiksa dalam persidangan yang berbeda;
  4. Pada umumnya, pemecahan berkas perkara menjadi penting, apabila dalam perkara tersebut kurang bukti dan kesaksian.

Dengan pemecahan berkas perkara menjadi beberapa perkara yang berdiri sendiri, antara seorang terdakwa dengan terdakwa yang lain, masing-masing dapat dijadikan sebagai saksi secara timbal balik. Sedang apabila mereka digabung dalam suatu berkas dan pemeriksaan persidangan, antara yang satu dengan yang lain tidak dapat saling dijadikan menjadi saksi yang timbal balik. Dalam hal inilah, muncul istilah “saksi mahkota” sebagai alat bukti dalam perkara pidana. Walaupun dalam KUHAP tidak ada definisi otentik mengenai ’saksi mahkota’ (kroon getuide) namun dalam praktiknya keberadaan saksi mahkota tersebut ada dan diakui.

Saksi mahkota adalah teman terdakwa yang melakukan tindak pidana bersama-sama diajukan sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan Penuntut Umum, yang perkara diantaranya dipisahkan karena kurangnya alat bukti. (Putusan Mahkamah Agung RI No. 1986 K/Pid/1989)

Dengan kata lain Saksi mahkota disini adalah saksi yang diperlukan untuk pembuktian dalam sidang di pengadilan untuk dua perkara atau lebih, yang saling bergantian dalam perkara yang satu sebagai terdakwa dan dalam perkara yang lain jadi saksi, demikian secara timbal balik. Penggunaan alat bukti saksi mahkota tersebut hanya dapat dilakukan dalam perkara pidana yang berbentuk penyertaan, dan terhadap perkara pidana tersebut telah dilakukan pemisahan (splitsing) yang didasarkan pada alasan karena kurangnya alat bukti yang akan diajukan oleh penuntut umum.

Pada awalnya, pengaturan mengenai saksi mahkota hanya diatur dalam ketentuan Pasal 168 huruf (c) KUHAP, yang pada pokoknya menjelaskan bahwa pihak yang bersama-sama sebagai terdakwa tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi. Selanjutnya, dalam perkembangannya, maka rekognisi tentang saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana diatur dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990.(Varia Peradilan Nomor 62, Nopember 1990, hal. 19-44. )

Dalam yurisprudensi nomor 1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990 tersebut dijelaskan bahwa Mahkamah Agung tidak melarang apabila jaksa penuntut umum mengajukan saksi mahkota di persidangan dengan syarat bahwa saksi ini dalam kedudukannya sebagai terdakwa tidak termasuk dalam satu berkas perkara dengan terdakwa yang diberikan kesaksian. Selain itu, dalam yurisprudensi tersebut juga telah diberikan suatu definisi tentang saksi mahkota yaitu teman terdakwa yang melakukan tindak pidana bersama-sama diajukan sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan penuntut umum, yang perkara
diantaranya dipisah karena kurangnya alat bukti.

Berdasarkan hal tersebut, maka pengajuan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana didasarkan pada kondisi-kondisi tertentu, yaitu dalam hal adanya perbuatan pidana dalam bentuk penyertaan dan terhadap perbuatan pidana bentuk penyertaan tersebut diperiksa dengan mekanisme pemisahan (splitsing), serta apabila dalam perkara pidana bentuk penyertaan tersebut masih terdapat kekurangan alat bukti, khususnya keterangan saksi. Hal ini tentunya bertujuan agar terdakwa tidak terbebas dari pertanggungjawabannya sebagai pelaku perbuatan pidana.

MEKANISME KOORDINASI PENYIDIK & PU

Salah satu fungsi keberadaan suatu hukum adalah untuk menetapkan perbuatan yang harus dilakukan dan atau perbuatan yang boleh dilakukan serta yang dilarang. Sasaran hukum yang hendak dituju bukan saja orang yang nyata-nyata berbuat melawan hukum, melainkan juga perbuatan hukum yang mungkin akan terjadi, dan kepada alat perlengkapan negara untuk bertindak menurut hukum. Sistem bekerjanya hukum yang demikian itu merupakan salah satu bentuk penegakan hukum.Dalam mewujudkan penegakan hukum tersebut, proses penanganan perkara pidana haruslah dilaksanakan secara optimal, sehingga haruslah dapat ditentukan secara cepat dan tepat tentang apakah suatu perkara pidana akan dapat diajukan ke persidangan ataukah tidak.
Selain itu, dalam rangka menegakkan supremasi hukum, posisi Kepolisian (yang berwenang melakukan penyidikan) dan Kejaksaan (yang berwenang melakukan penuntutan) sangat penting dalam mewujudkan hukum in concreto. Mewujudkan hukum in concreto bukan hanya merupakan fenomena pengadilan atau hakim, tetapi termasuk dalam pengertian pemberian pelayanan hukum dan penegakan hukum, sehingga Kepolisian dan Kejaksaan yang merupakan pranata publik penegak hukum dalam sistem peradilan pidana juga mempunyai peran krusial dalam perwujudan hukum in concreto.

Proses untuk menentukan suatu berkas perkara guna menentukan lengkap tidaknya berkas perkara tersebut untuk dilimpahkan di persidangan dalam rangkaian proses peradilan pidana terletak pada tahap Prapenuntutan yang menggambarkan adanya keterkaitan antara Penyidik dengan Penuntut Umum. Apabila terdapat kekurangan di dalam berkas perkara, yang nantinya akan menyulitkan Kejaksaan dalam melakukan penuntutan, maka berkas perkara dapat dikembelikan kepada Penyidik untuk disempurnakan dengan disertai petunjuk yang dianggap perlu.

Pada prinsipnya, ketentuan tentang Penyidikan dan Penuntutan dalam KUHAP di atas menunjukkan hubungan yang erat antara penyidikan dengan penuntutan. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa penyidikan merupakan kegiatan untuk mengumpulkan alat bukti mengenai adanya satu tindak pidana beserta pelaku tindak pidana tersebut, sementara penuntutan merupakan kegiatan yang ditujukan untuk mempertanggungjawabkan hasil dari kegiatan penyidikan di forum pengadilan.

Oleh karena itu, pelaksanaan dari integrated criminal justice system sebetulnya adalah untuk melaksanakan penegakan hukum yang terpadu dan berkesinambungan untuk mendapatkan out put yang maksimal. Dalam hal ini, penyidikan haruslah diarahkan kepada pembuktian di persidangan, sehingga tersangka (pelaku tindak pidana) dapat dituntut dan diadili di persidangan. Penyidikan yang berakhir dengan putusan (vrisjpraak) ataupun lepas dari segala tuntutan (onslag van alle rechtsvervolging) dari Pengadilan terhadap pelaku tindak pidana akan merugikan masyarakat dan lembaga penegak hukum itu sendiri.
Hal ini merupakan bagian dari kewenangan Kejaksaan sesuai dengan Dominis Litius, yaitu maka penetapan dan pengendalian kebijakan penuntutan hanya berada di satu tangan yaitu Kejaksaan.

Sebelum penyidikan dimulai, sudah harus diperkirakan delik yang dan diatur dalam ketentuan perundang-undangan. Hal tersebut sangat penting, karena penyidikan diarahkan kepada keadaan yang terjadi, yang cocok dengan perumusan delik tersebut. Namun demikian, Penuntut Umum dapat pula mengubah pasal perundang-undangan pidana yang dicantumkan oleh Penyidik.59 Disinilah letak hubungan yang tidak terpisahkan antara penyidik dan Penuntut Umum.

Adapun Mekanisme koordinasi dalam hal penyidikan antara Kepolisian (Penyidik) dengan Kejaksaan (Jaksa Penuntut Umum) tersebut dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut :

  1. Setelah Kepolisian (Penyidik) melakukan kegiatan penyidikan, maka Kepala Kepolisian di unit bersangkutan (Kapolres/Kapolsek) segera mengirim Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Jaksa Penuntut Umum melalui Kajati/Kajari. Pengiriman SPDP inilah yang merupakan titik awal hubungan koordinasi antara Kepolisian (Penyidik) dengan Kejaksaan (Jaksa Penuntut Umum) dalam hal dilakukannya suatu kegiatan penyidikan.
  2. Selanjutnya, Kajati atau Kajari akan menunjuk Jaksa untuk melakukan pemantauan perkembangan penyidikan dan melakukan penelitian berkas perkara (form surat P-16A). Jaksa yang ditunjuk inilah yang akan melakukan koordinasi dengan para penyidik dalam hal menentukan suatu perkara layak atau tidak ditingkatkan dalam tahap penuntutan.
  3. Setelah Penyidik selesai melakukan tindakan-tindakan penyidikan, seperti melakukan pemeriksaan terhadap saksi, ahli maupun tersangka, melakukan penyitaan, penangkapan, penahanan dan sebagainya, maka hasil dari kegiatan penyidikan tersebut dituangkan dalam sebuah Berkas Perkara. Selanjutnya Penyidik melimpahkan Berkas perkara tersebut ke Kejaksaan untuk diteliti.
  4. Jaksa Peneliti melakukan penelitian berkas perkara, apakah berkas perkara tersebut telah memenuhi syarat formil maupun materiil untuk dilimpahkan ke persidangan. KUHAP menentukan paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya Berkas Perkara tersebut, Jaksa sudah harus menyatakan sikap. Dalam hal ini terdapat 2 (dua) sikap dari Jaksa Peneliti, yaitu :

    1. Apabila berkas perkara telah dinyatakan lengkap, maka Jaksa Peneliti akan menyusun Berita Acara Pendapat yang menyatakan bahwa Berkas Perkara telah lengkap dan berkas perkara dapat dinaikkan ke tahap penuntutan. Apabila sikap ini yang diambil oleh Jaksa Peneliti, maka penyidikan berarti telah selesai dan tahap Prapenuntutan dengan sendirinya akan beralih ke tahap Penuntutan. Konsekuensi dari peralihan dari tahap Prapenuntutan ke tahap Penuntutan tersebut sekaligus berakibat beralihnya “tanggung jawab yuridis” perkara pidana dari tangan Penyidik ke tangan Penuntut Umum setelah Penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada Penuntut Umum (Pasal 8 ayat (3) huruf b KUHAP). Selain itu Jaksa Peneliti juga segera menyusun Rencana Dakwaan sebagai landasan untuk membuat Surat Dakwaan yang akan dilimpahkan ke Pengadilan.
    2. Apabila Berkas Perkara dinyatakan kurang lengkap, maka Jaksa Peneliti akan segera menerbitkan Surat (P-18) yang menyatakan bahwa Berkas Perkara dikembalikan kepada Penyidik, karena berkas tersebut masih kurang lengkap. Selanjutnya dalam waktu 14 (empat belas hari) sejak diterimanya berkas perkara, Jaksa Peneliti sudah harus memberikan petunjuk kepada penyidik, baik berupa kelengkapan syarat formil maupun syarat materiil.

  1. Setelah menerima petunjuk dari Jaksa untuk melengkapi berkas perkara, Penyidik “wajib” melengkapi berkas perkara sesuai dengan petunjuk Jaksa. Dalam hal ini, koordinasi juga dilakukan dengan cara Penyidik menghadap kepada Jaksa untuk memperoleh petunjuk secara konkrit dalam melengkapi kekurangan Berkas perkara. Setelah berkas perkara dilengkapi oleh Penyidik, Penyidik dalam waktu 14 hari harus menyerahkan atau menyampaikan kembali berkas dan tambahan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum (Pasal 110 ayat (2) dan (3) serta pasal 138 ayat (2) KUHAP).
  2. Jaksa Peneliti kembali melakukan penelitian berkas perkara dan setelah dinyatakan lengkap segera memberitahukan kepada penyidik untuk melimpahkan tersangka dengan barang bukti kepada Jaksa Penuntut Umum.  Namun apabila berkas perkara tersebut ternyata menurut Jaksa Peneliti masih kurang lengkap, maka berkas perkara tersebut dikembalikan lagi kepada Penyidik dan proses bolak-balik berkas perkara tersebut akan terjadi sampai berkas perkara dinyatakan lengkap oleh Jaksa Peneliti.

Dari gambaran diatas, dapat dilihat bahwa peran tahap Prapenuntutan dalam proses penanganan perkara pidana adalah sangat penting, sehingga diperlukan upaya-upaya untuk menyusun berkas perkara sebagai bahan pembuatan Surat Dakwaan sekaligus menjadi “amunisi” bagi Penuntut Umum untuk melakukan pembuktian tentang adanya perbuatan pidana.

SPLITSING PERKARA

Dalam Pasal 184 KUHAP terdapat lima alat bukti yang sah untuk dijadikan dasar terhadap pembuktian adanya suatu tindak pidana. Berkaitan dengan hal tersebut, alat bukti yang paling paling mudah dan paling sering dipergunakan adalah Keterangan Saksi. Dalam prakteknya, hampir semua pembuktian perkara pidana membutuhkan alat bukti berupa keterangan saksi51 dan pada umumnya alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi. Sekurang-kurangnya disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.52

Akan tetapi tidak semua keterangan saksi memiliki nilai dan kekuatan sebagai alat bukti. Misalnya saja keterangan saksi di luar apa yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri. Selain itu, keterangan saksi yang diperoleh dari pendengaran orang lain (testimonium de auditu) juga tidak mempunyai kekuatan pembuktian. Begitu pula opini atau rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saksi yang bersangkutan. Keterangan saksi demikian tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti di persidangan.

Kemudian sesuai dengan Pasal 185 ayat (2) KUHAP, maka keterangan seorang saksi saja, belum dapat dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk untuk membutuhkan kesalahan terdakwa. Hal tersebut dikenal dengan ungkapan Unus Tetis Nullus Tetis (satu saksi bukan saksi).53 Artinya, jika alat bukti yang tersedia hanya terdiri dari seorang saksi saja tanpa ditambah dengan keterangan saksi yang lain atau alat bukti yang lain, maka “kesaksian tunggal” tersebut tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa.

Permasalahan yang muncul di dalam praktek penanganan perkara, adalah terdapat dugaan terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa pelaku, namun tidak ada saksi yang secara langsung melihat dan mendengar saat tindak pidana tersebut dilakukan, sehingga yang paling mengetahui tentang peristiwa tersebut adalah para pelaku sendiri. Dalam hal inilah, diperlukan upaya pembuktian dengan jalan melakukan pemecahan perkara (splitsing) supaya terdapat alat bukti Keterangan Saksi dan mempunyai kekuatan pembuktian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 185 ayat (2) diatas, sehingga pelaku yang satu dapat menjadi saksi terhadap pelaku lain.

Dasar dari dilakukannya pemecahan perkara tersebut tercantum dalam Pasal 142 KUHAP yang menyatakan :
“Dalam hal Penuntut Umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141, Penuntut Umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah.”

 Dalam pasal 142 KUHAP terdapat pengecualian yang tercatum dalam pasal 141 berbunyi:

“Penuntut Umum dapat melakukan pengabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam hal :
  1. Beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungaannya;
  2. Beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain;
  3. Beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan yang lain, akan tetapi yang satu dengan yang lain ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan.

Yang dimaksud dengan “ tindak pidana dianggap mempunyai sangkut paut satu dengan yang lain “ dalam pasal 141 huruf b adalah apabila tindak pidana tersebut dilakukan :

  1. Oleh lebih dari seorang yang bekerja sama dan dilakukan pada saat yang bersamaan;
  2. Oleh lebih dari seorang pada saat dan tempat yang berbeda, akan tetapi merupakan pelaksanaan dan pemufakatan jahat yang dibuat oleh mereka sebelumnya;

Oleh seorang atau lebih dengan maksud mendapat alat yang akan dipergunakan untuk melakukan tindak pidana lainatau menghindarkan diri dari pemidanaan karena tindakpidana lain.

Pasal 142 KUHAP memberikan kewenangan kepada Penuntut Umum untuk melakukan “pemecahan berkas perkara” dari satu berkas perkara menjadi beberapa berkas perkara. Artinya, kewenangan untuk melakukan splitsing berada di tangan Penuntut Umum.

Namun KUHAP tidak memberikan penjelasan lebih lanjut tentang kapankah splitsing tersebut dilakukan oleh Penuntut Umum. Dalam Tambahan Lembaran Negara R.I. No. 3209 tentang Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 7 (KUHAP) Pasal 142 hanya diterangkan “Cukup jelas”.

Apabila diperhatikan redaksi dari Pasal 142 KUHAP, yaitu “..........Penuntut Umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah.”, maka haruslah dilihat tentang pengertian “penuntutan”. Sesuai dengan Pasal 1 angka 7 KUHAP, pengertian “Penuntutan” adalah “tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan”.

Dengan demikian, pelaksanaan splitsing seharusnya memang dilakukan pada saat sebelum Penuntut Umum melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan Negeri sebagaimana diterangkan dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP Penjelasan Pasal 142.
Sehubungan dengan hal tersebut, apabila melihat kewenangan Penuntut Umum, maka hal tersebut diatur dalam Pasal 14 KUHAP sebagai berikut :
  1. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik pembantu;
  2. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan (4), dengan memberikan petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;
  3. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
  4. Membuat surat dakwaan;
  5. Melimpahkan perkara ke pengadilan;
  6. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;
  7. Melakukan penuntutan;
  8. Menutup perkara demi kepentingan hukum;
  9. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang;
  10. Melaksanakan penetapan hakim.

Apabila memperhatikan kewenangan Penuntut Umum diatas, maka sebelum melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan Negeri, maka tugas Penuntut Umum secara ringkas adalah Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan, mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dan membuat surat dakwaan. Mengingat, Penjelasan Pasal 142 menyatakan bahwa biasanya splitsing dilakukan dengan membuat berkas perkara baru dimana para tersangka saling menjadi saksi, sehingga untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan baru, baik terhadap tersangka maupun saksi, maka splitsing dilakukan pada saat Penuntut Umum melakukan kegiatan Prapenuntutan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 14 huruf b KUHAP, yaitu : “Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan (4), dengan memberikan petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik”. Oleh karena itu, Splitsing dilakukan pada saat tahap Prapenuntutan, yaitu ketika Penunut Umum memberikan petunjuk kepada Penyidik untuk memecah berkas perkara.

Hal tersebut disebabkan pemecahan penuntutan perkara (splitsing) seperti yang dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 142 KUHAP biasanya memang dilakukan dengan membuat berkas perkara lagi, sehingga perlu dilakukan kembali pemeriksaan terhadap saksi maupun terhadap terdakwa.54 Dalam hal ini, tugas
untuk menyusun berkas perkara adalah di pihak Penyidik dan bukan di pihak Penuntut Umum, sebagaimana tertuang dalam Pasal 110 ayat (1), yaitu : “Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum.” Oleh karena itu, Penyidik melakukan splitsing atas perintah Penuntut Umum, apabila dari hasil penelitian berkas perkara,Penuntut Umum berpendapat bahwa perkara pidana tersebut perlu dilakukan splitsing.

Hal tersebut juga disebabkan, salah satu urgensi dari pemecahan berkas perkara menjadi berkas perkara yang berdiri sendiri, dimaksudkan untuk menempatkan para terdakwa masing-masing menjadi saksi secara timbal balik diantara sesama mereka. Oleh karena itu, jelas diperlukan kembali pemeriksaan penyidikan. Dalam hal inilah, sekalipun pemecahan berkas perkara dilakukan oleh Penuntut Umum, namun pemeriksaan penyidikan yang diakibatkan pemecahan berkas perkara tetap menjadi wewenang Penyidik.Oleh karena itu, dalam pemecahan berkas perkara dilakukan hal-hal sebagai berikut :
  1. Pemeriksaan penyidikan dilakukan oleh penyidik dengan jalan pihak penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik, dalam arti “penyidikan tambahan”;
  2. Pemeriksaan penyidikan akibat pemecahan berkas perkara dilakukan oleh penyidik berdasar petunjuk yang diberikan oleh penuntut umum;
  3. Tata cara pengembalian berkas, baik yang dilakukan oleh penuntut umum kepada penyidik maupun oleh penyidik kepada penuntut umum dalam rangka pemecahan berkas perkara, berpedoman kepada ketentuan tata cara dan batas-batas tenggang waktu yang ditentukan dalam Pasal 110 ayat (4) dan Pasal 138 ayat (2) KUHAP.

PENGETAHUAN TENTANG HUKUM

Negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Hal yang mendasar dari negara hukum adalah kekuasaan yang berlandaskan hukum dan semua orang sama di hadapan hukum, atau negara yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan dalam kerangka kekuasaan hukum.

Salah satu konsekuensi terhadap hal tersebut adalah pelaksanaan penegakan hukum juga berdasar atas hukum. Artinya, proses penanganan suatu perkara pidana oleh penegak hukum haruslah diatur dalam suatu prosedur hukum yang dikenal dengan hukum acara pidana.

Hukum Acara Pidana merupakan salah satu realisasi pembangunan dan pembinaan di bidang hukum. Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang disahkan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 31 Desember 1981. Dengan disahkannya undang-undang ini, maka ketentuan yang berlaku sebelumnya yaitu Het Herziene Inlandsch Reglement (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44) dihubungkan dengan Undang-undang No.1 Drt. Tahun 1951 dan semua peraturan pelaksanaannya, serta ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya sepanjang hal itu mengenai hukum acara dicabut.
3.      Sehingga untuk pertama kalinya di Indonesia diadakan kodifikasi dan unifikasi yang lengkap dalam arti meliputi seluruh proses pidana dari awal sampai kasasi di Mahkamah Agung, bahkan sampai Peninjauan Kembali.
4.      Pada prinsipnya, proses untuk melakukan penanganan perkara pidana harus dilakukan atas dasar pembuktian. Bahkan dikatakan bahwa masalah hukum adalah masalah pembuktian di persidangan, sehingga peran dari pembuktian di persidangan dalam suatu proses hukum sangatlah penting.
5.      Pembuktian adalah Proses dimana Penuntut umum meyakinkan kepada hakim bahwa terdapat suatu tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Untuk membuktikan kesalahan terdakwa dan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa, dalam Pasal 183 KUHAP dikatakan bahwa “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Dengan demikian, KUHAP mengatur bahwa untuk menentukan salah tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana terhadap terdakwa haruslah terdapat : Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya “dua alat bukti yang sah”; .Dan atas dua alat bukti yang sah tersebut, hakim “memperoleh keyakinan” bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa adalah orang yang melakukannya. Sistem pembuktian inilah yang dikenal dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif atau sistem negative wettelijk
6.      .4 Negatief wetelijk atau yang lebih dikenal dengan sistem pembuktian negatif, adalah sistem pembuktian yang berpedoman pada alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang dan keyakinan hakim dalam memberikan putusan tentang terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.
7.      Berkaitan dengan hal diatas, KUHAP telah mengatur tentang alat bukti yang sah, yang tertuang dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu :
a. keterangan saksi;
b.keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.

Dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP tentang alat bukti sebagaimana diatas disebutkan keterangan saksi dalam urutan pertama. Hal tersebut menunjukkan betapa krusialnya keterangan saksi dalam pembuktian suatu perkara pidana. Dalam prakteknya, hampir semua pembuktian perkara pidana membutuhkan alat bukti berupa keterangan saksi, sehingga kehadiran saksi dalam memberikan keterangannya, baik dalam tahap penyidikan maupun dalam tahap pemeriksaan di persidangan menjadi suatu hal yang sangat penting.

Menurut M. Yahya Harahap, SH, alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi. Sekurang-kurangnya disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

Berkaitan dengan hal tersebut, pembuktian suatu perkara tindak pidana di depan persidangan merupakan tanggung jawab Jaksa selaku Penuntut Umum dan sistem pembuktian dalam hukum acara pidana di hampir semua negara di dunia memang meletakkan beban pembuktian di atas pundak Penuntut Umum.8 Dengan demikian, untuk dapat menyatakan seseorang terbukti melakukan suatu tindak pidana, maka harus ada paling sedikit dua alat bukti ditambah dengan keyakinan Hakim dan menjadi beban Penuntut Umum untuk dapat menghadirkan minumum dua alat bukti tersebut di persidangan untuk memperoleh keyakinan Hakim.

Dalam praktiknya, pembuktian terhadap perkara-perkara tertentu yang  peristiwanya hanya diketahui secara langsung oleh beberapa pelaku tindak pidana  membutuhkan adanya pemecahan perkara, agar pelaku yang satu dapat menjadi  saksi terhadap pelaku lain, sehingga perkara tersebut dapat diperkuat dengan adanya alat bukti keterangan saksi. Hal tersebut sangat penting bagi Penuntut Umum yang berupaya untuk membuktikan tentang terjadinya suatu tindak pidana dan terdakwa merupakan pelakunya sehingga timbul keyakinan Hakim terhadap  hal tersebut. Pengaturan tentang pemecahan perkara tersebut juga telah tercantum dalam KUHAP, yaitu dalam Pasal 142 KUHAP yang rumusannya adalah sebagai berikut :

“Dalam hal Penuntut Umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141, Penuntut Umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah.”

Dengan demikian, Pasal 142 KUHAP memberikan kewenangan kepada Penuntut Umum untuk melakukan “pemecahan berkas perkara” dari satu berkas perkara menjadi beberapa berkas perkara. Pemecahan berkas perkara inilah yang disebut dengan splitsing, yaitu memecah satu berkas perkara menjadi dua atau lebih atau a split trial.


Pada dasarnya, pemecahan berkas perkara terjadi disebabkan faktor pelaku tindak pidana yang terdiri dari beberapa orang. Apabila terdakwa terdiri dari beberapa orang, Penuntut Umum dapat menempuh cara untuk memecah berkas perkara menjadi beberapa berkas perkara sesuai dengan jumlah terdakwa. Pemecahan berkas perkara tersebut dimaksudkan agar antara seorang terdakwa dengan terdakwa yang lain, masing-masing dapat dijadikan sebagai saksi secara timbal balik. Pemecahan berkas perkara tersebut menjadi penting, apabila dalam suatu perkara pidana tidak tersedia alat bukti yang cukup, khususnya dalam hal alat bukti keterangan saksi.

Dalam hal inilah, muncul istilah “saksi mahkota” sebagai alat bukti dalam perkara pidana. Walaupun dalam KUHAP tidak ada definisi otentik mengenai ’saksi mahkota’ (kroon getuige) namun dalam praktiknya keberadaan saksi mahkota tersebut ada dan diakui.

 Saksi mahkota adalah teman terdakwa yang melakukan tindak pidana bersama-sama diajukan sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan Penuntut Umum, yang perkara diantaranya dipisahkan karena kurangnya alat bukti. Dengan kata lain Saksi mahkota disini adalah saksi yang diperlukan untuk pembuktian dalam sidang di pengadilan untuk dua perkara atau lebih, yang saling bergantian dalam perkara yang satu sebagai terdakwa dan dalam perkara yang lain jadi saksi, demikian secara timbal balik.
Penggunaan alat bukti saksi mahkota tersebut hanya dapat dilakukan dalam perkara pidana yang berbentuk penyertaan, dan terhadap perkara pidana tersebut telah dilakukan pemisahan (splitsing) yang didasarkan pada alasan karena kurangnya alat bukti yang akan diajukan oleh penuntut umum.

Selasa, 17 April 2012

Perempuan Diciptakan dari Tulang Rusuk

Oleh : Ustadz Bachtiar Nasir
Ustaz, apakah benar seorang perempuan diciptakan dari tulang rusuk manusia?

Sholeh Sholahuddin, Serang, Banten

Jawaban :
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan, bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan ( peliharalah ) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” ( QS al-Nisa [4]: 1 ).

Ayat di atas adalah dasar atau dalil dari permasalahan yang Anda tanyakan. Dalam hal ini, ada perbedaan pendapat para ulama dalam menetapkan asal ­muasal penciptaan perempuan ( Hawa ). Jumhur ulama menafsirkan perkataan wa khalaqa minha zaujaha dalam ayat di atas dengan menyatakan bahwa Hawa diciptakan dari Adam.

Hadis-hadis Nabi Muhammad SAW menyebutkan, Hawa itu diciptakan dari tulang rusuk Adam. Berikut ini salah satu hadis sahih yang dijadikan sebagai sandaran dari argumentasi jumhur ulama. Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah bersabda, “Saling berwasiatlah kalian untuk berbuat baik kepada perempuan. Karena sesungguhnya perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk. Dan yang paling bengkok dari tulang rusuk itu adalah bagian paling atasnya. Jika kamu berusaha meluruskannya, kamu akan membuatnya patah. Dan jika dibiarkan, ia akan terus bengkok. Karena itu, saling berwasiatlah kalian untuk berbuat baik kepada perempuan.“ ( HR Bukhari ).

Tetapi, ada pedapat berbeda dari sebagian ulama, seperti Abu Muslim al-Isfahani dan diikuti oleh Syekh Rasyid Ridha dalam tafsir al-Manar-nya dan juga dipilih Syekh Yusuf al-Qaradhawi.
Mereka mengatakan, yang dimaksudkan dalam ayat itu adalah Hawa diciptakan dari jenis yang sama dengan penciptaan Adam. Makna hadis di atas adalah kiasan bahwa perempuan itu seperti tulang rusuk yang bengkok. Dalam konteks ini, Nabi memerintahkan kaum laki-laki memperlakukan istri dengan lemah lembut dan tidak tergesa-gesa dalam memperbaikinya jika menemukan sesuatu yang tidak disukai.
Perempuan diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, bukan berarti bersifat jelek dan itu bukan kekurangan bagi seorang perempuan. Ini hanya masalah fungsi saja, di mana laki-laki dan perempuan memiliki fungsi berbeda sesuai dengan kehendak penciptaan Allah. Wallahu a’lam bish shawab ■

Sumber : Konsultasi Agama, Republika, Rabu,11 April 2012/19 Jumadil Awal 1433 H