Jumat, 20 April 2012

MEKANISME KOORDINASI PENYIDIK & PU

Salah satu fungsi keberadaan suatu hukum adalah untuk menetapkan perbuatan yang harus dilakukan dan atau perbuatan yang boleh dilakukan serta yang dilarang. Sasaran hukum yang hendak dituju bukan saja orang yang nyata-nyata berbuat melawan hukum, melainkan juga perbuatan hukum yang mungkin akan terjadi, dan kepada alat perlengkapan negara untuk bertindak menurut hukum. Sistem bekerjanya hukum yang demikian itu merupakan salah satu bentuk penegakan hukum.Dalam mewujudkan penegakan hukum tersebut, proses penanganan perkara pidana haruslah dilaksanakan secara optimal, sehingga haruslah dapat ditentukan secara cepat dan tepat tentang apakah suatu perkara pidana akan dapat diajukan ke persidangan ataukah tidak.
Selain itu, dalam rangka menegakkan supremasi hukum, posisi Kepolisian (yang berwenang melakukan penyidikan) dan Kejaksaan (yang berwenang melakukan penuntutan) sangat penting dalam mewujudkan hukum in concreto. Mewujudkan hukum in concreto bukan hanya merupakan fenomena pengadilan atau hakim, tetapi termasuk dalam pengertian pemberian pelayanan hukum dan penegakan hukum, sehingga Kepolisian dan Kejaksaan yang merupakan pranata publik penegak hukum dalam sistem peradilan pidana juga mempunyai peran krusial dalam perwujudan hukum in concreto.

Proses untuk menentukan suatu berkas perkara guna menentukan lengkap tidaknya berkas perkara tersebut untuk dilimpahkan di persidangan dalam rangkaian proses peradilan pidana terletak pada tahap Prapenuntutan yang menggambarkan adanya keterkaitan antara Penyidik dengan Penuntut Umum. Apabila terdapat kekurangan di dalam berkas perkara, yang nantinya akan menyulitkan Kejaksaan dalam melakukan penuntutan, maka berkas perkara dapat dikembelikan kepada Penyidik untuk disempurnakan dengan disertai petunjuk yang dianggap perlu.

Pada prinsipnya, ketentuan tentang Penyidikan dan Penuntutan dalam KUHAP di atas menunjukkan hubungan yang erat antara penyidikan dengan penuntutan. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa penyidikan merupakan kegiatan untuk mengumpulkan alat bukti mengenai adanya satu tindak pidana beserta pelaku tindak pidana tersebut, sementara penuntutan merupakan kegiatan yang ditujukan untuk mempertanggungjawabkan hasil dari kegiatan penyidikan di forum pengadilan.

Oleh karena itu, pelaksanaan dari integrated criminal justice system sebetulnya adalah untuk melaksanakan penegakan hukum yang terpadu dan berkesinambungan untuk mendapatkan out put yang maksimal. Dalam hal ini, penyidikan haruslah diarahkan kepada pembuktian di persidangan, sehingga tersangka (pelaku tindak pidana) dapat dituntut dan diadili di persidangan. Penyidikan yang berakhir dengan putusan (vrisjpraak) ataupun lepas dari segala tuntutan (onslag van alle rechtsvervolging) dari Pengadilan terhadap pelaku tindak pidana akan merugikan masyarakat dan lembaga penegak hukum itu sendiri.
Hal ini merupakan bagian dari kewenangan Kejaksaan sesuai dengan Dominis Litius, yaitu maka penetapan dan pengendalian kebijakan penuntutan hanya berada di satu tangan yaitu Kejaksaan.

Sebelum penyidikan dimulai, sudah harus diperkirakan delik yang dan diatur dalam ketentuan perundang-undangan. Hal tersebut sangat penting, karena penyidikan diarahkan kepada keadaan yang terjadi, yang cocok dengan perumusan delik tersebut. Namun demikian, Penuntut Umum dapat pula mengubah pasal perundang-undangan pidana yang dicantumkan oleh Penyidik.59 Disinilah letak hubungan yang tidak terpisahkan antara penyidik dan Penuntut Umum.

Adapun Mekanisme koordinasi dalam hal penyidikan antara Kepolisian (Penyidik) dengan Kejaksaan (Jaksa Penuntut Umum) tersebut dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut :

  1. Setelah Kepolisian (Penyidik) melakukan kegiatan penyidikan, maka Kepala Kepolisian di unit bersangkutan (Kapolres/Kapolsek) segera mengirim Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Jaksa Penuntut Umum melalui Kajati/Kajari. Pengiriman SPDP inilah yang merupakan titik awal hubungan koordinasi antara Kepolisian (Penyidik) dengan Kejaksaan (Jaksa Penuntut Umum) dalam hal dilakukannya suatu kegiatan penyidikan.
  2. Selanjutnya, Kajati atau Kajari akan menunjuk Jaksa untuk melakukan pemantauan perkembangan penyidikan dan melakukan penelitian berkas perkara (form surat P-16A). Jaksa yang ditunjuk inilah yang akan melakukan koordinasi dengan para penyidik dalam hal menentukan suatu perkara layak atau tidak ditingkatkan dalam tahap penuntutan.
  3. Setelah Penyidik selesai melakukan tindakan-tindakan penyidikan, seperti melakukan pemeriksaan terhadap saksi, ahli maupun tersangka, melakukan penyitaan, penangkapan, penahanan dan sebagainya, maka hasil dari kegiatan penyidikan tersebut dituangkan dalam sebuah Berkas Perkara. Selanjutnya Penyidik melimpahkan Berkas perkara tersebut ke Kejaksaan untuk diteliti.
  4. Jaksa Peneliti melakukan penelitian berkas perkara, apakah berkas perkara tersebut telah memenuhi syarat formil maupun materiil untuk dilimpahkan ke persidangan. KUHAP menentukan paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya Berkas Perkara tersebut, Jaksa sudah harus menyatakan sikap. Dalam hal ini terdapat 2 (dua) sikap dari Jaksa Peneliti, yaitu :

    1. Apabila berkas perkara telah dinyatakan lengkap, maka Jaksa Peneliti akan menyusun Berita Acara Pendapat yang menyatakan bahwa Berkas Perkara telah lengkap dan berkas perkara dapat dinaikkan ke tahap penuntutan. Apabila sikap ini yang diambil oleh Jaksa Peneliti, maka penyidikan berarti telah selesai dan tahap Prapenuntutan dengan sendirinya akan beralih ke tahap Penuntutan. Konsekuensi dari peralihan dari tahap Prapenuntutan ke tahap Penuntutan tersebut sekaligus berakibat beralihnya “tanggung jawab yuridis” perkara pidana dari tangan Penyidik ke tangan Penuntut Umum setelah Penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada Penuntut Umum (Pasal 8 ayat (3) huruf b KUHAP). Selain itu Jaksa Peneliti juga segera menyusun Rencana Dakwaan sebagai landasan untuk membuat Surat Dakwaan yang akan dilimpahkan ke Pengadilan.
    2. Apabila Berkas Perkara dinyatakan kurang lengkap, maka Jaksa Peneliti akan segera menerbitkan Surat (P-18) yang menyatakan bahwa Berkas Perkara dikembalikan kepada Penyidik, karena berkas tersebut masih kurang lengkap. Selanjutnya dalam waktu 14 (empat belas hari) sejak diterimanya berkas perkara, Jaksa Peneliti sudah harus memberikan petunjuk kepada penyidik, baik berupa kelengkapan syarat formil maupun syarat materiil.

  1. Setelah menerima petunjuk dari Jaksa untuk melengkapi berkas perkara, Penyidik “wajib” melengkapi berkas perkara sesuai dengan petunjuk Jaksa. Dalam hal ini, koordinasi juga dilakukan dengan cara Penyidik menghadap kepada Jaksa untuk memperoleh petunjuk secara konkrit dalam melengkapi kekurangan Berkas perkara. Setelah berkas perkara dilengkapi oleh Penyidik, Penyidik dalam waktu 14 hari harus menyerahkan atau menyampaikan kembali berkas dan tambahan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum (Pasal 110 ayat (2) dan (3) serta pasal 138 ayat (2) KUHAP).
  2. Jaksa Peneliti kembali melakukan penelitian berkas perkara dan setelah dinyatakan lengkap segera memberitahukan kepada penyidik untuk melimpahkan tersangka dengan barang bukti kepada Jaksa Penuntut Umum.  Namun apabila berkas perkara tersebut ternyata menurut Jaksa Peneliti masih kurang lengkap, maka berkas perkara tersebut dikembalikan lagi kepada Penyidik dan proses bolak-balik berkas perkara tersebut akan terjadi sampai berkas perkara dinyatakan lengkap oleh Jaksa Peneliti.

Dari gambaran diatas, dapat dilihat bahwa peran tahap Prapenuntutan dalam proses penanganan perkara pidana adalah sangat penting, sehingga diperlukan upaya-upaya untuk menyusun berkas perkara sebagai bahan pembuatan Surat Dakwaan sekaligus menjadi “amunisi” bagi Penuntut Umum untuk melakukan pembuktian tentang adanya perbuatan pidana.

Tidak ada komentar: