Pengertian “pembuktian” secara umum adalah
ketentuan-ketentuan yang yang berisi penggarisan dan pedoman tentang
cara-cara yang dibenarkan undang-undang dalam membuktikan kesalahan yang
didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang
mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh
dipergunakan oleh hakim guna membuktikan kesalahan yang didakwakan.
Mengenai pengertian dari kata pembuktian dapat dijumpai dalam pendapat para sarjana antara lain :
R. Soebekti, menyatakan bahwa :
Yang
dimaksud dengan “membuktikan” ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran
dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.36
Martiman Prodjohamidjojo, menyatakan :
“membuktikan”
mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran suatu peristiwa
sehingga dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut.
Berdasarkan
pendapat tersebut di atas, maka yang dimaksud dengan pembuktian adalah
suatu kebenaran atau dalil yang diajukan ke depan sidang.
Dalil
yang dimaksud itu dapat berupa alat bukti yang sah, dan diajukan ke
depan persidangan. Dengan demikian pembuktian merupakan suatu kebenaran
dari alat bukti yang sah, untuk dinyatakan bersalah atau tidaknya
terdakwa atas tindak pidana yang didakwakan. Masalah pembuktian tentang
benar tidaknya seorang terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan
merupakan bagian terpenting dari acara pidana, karena hak asasi manusia
(terdakwa) akan dipertaruhkan. Dalam hal inilah hukum acara pidana
bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, yang berbeda dengan hukum
acara perdata yang hanya sebatas pada kebenaran formal. Senada dengan
hal tersebut, Van Bemmelen mengemukakan tiga fungsi hukum acara pidana
yaitu :
- Mencari dan menemukan kebenaran;
- Pemberian keputusan oleh hakim;
- Pelaksanaan keputusan.
Dari
ketiga fungsi tersebut, yang paling penting adalah fungsi “mencari
kebenaran” karena hal tersebut merupakan tumpuan kedua fungsi
berikutnya. Setelah menemukan kebenaran yang diperoleh melalui alat
bukti dan barang bukti, maka hakim akan sampai kepada putusan yang
selanjutnya akan dilaksanakan oleh Jaksa.
Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa tujuan hukum acara pidana, termasuk
KUHAP adalah untuk mencari kebenaran dengan melakukan pembuktian.
Secara teoritis, dikenal empat macam sistem pembuktian dalam perkara pidana, yaitu sebagai berikut :39
- Conviction in time, adalah sistem pembuktian yang berpedoman pada keyakinan hakim an sich dalam memberikan putusan tentang terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.
- Conviction in Raisonee, adalah sistem pembuktian yang berpedoman pada keyakinan hakim dalam memberikan putusan tentang terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Faktor keyakinan hakim dalam sistem pembuktian ini harus didasarkan pada alasan-alasan yang logis (reasonable). Hal ini yang membedakan dengan sistem pembuktian yang pertama.
- Positief wetelijk stelsel atau yang lebih dikenal dengan sistem pembuktian posiitf, adalah sistem pembuktian yang berpedoman pada alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang dalam memberikan putusan tentang terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.
- Negatief wetelijk stelsel atau yang lebih dikenal dengan sistem pembuktian negatif, adalah sistem pembuktian yang berpedoman pada alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang dan keyakinan hakim dalam memberikan putusan tentang terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.
Adapun sistem Pembuktian yang diatur dalam KUHAP tercantum dalam Pasal 183 yang rumusannya adalah sebagai berikut : ” Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila
sekurang-kurangnya
dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa yang bersalah
melakukannya.”
Dari
rumusan Pasal 183 tersebut, terlihat bahwa pembuktian harus didasarkan
sedikitnya pada dua alat bukti yang sah, disertai dengan keyakinan hakim
yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut. Artinya, tersedianya
minimum dua alat bukti saja, belum cukup untuk menjatuhkan pidana kepada
terdakwa. Sebaliknya, meskipun hakim sudah yakin terhadap kesalahan
terdakwa, maka jika tidak tersedia minimum dua alat bukti, hakim juga
belum dapat menjatuhkan pidana terhadap terdakwa. Dalam hal inilah
penjatuhan pidana terhadap seorang terdakwa haruslah memenuhi dua syarat
mutlak, yaitu alat bukti yang cukup dan keyakinan hakim. Sistem
pembuktian tersebut terkenal dengan nama sistem negative wettelijk.
Dalam
Penjelasan Pasal 183 KUHAP tersebut dinyatakan bahwa Pembentuk Undang
Undang telah menentukan pilihan bahwa sistem pembuktian yang paling
tepat dalam kehidupan penegakan hukum di Indonesia adalah sistem
pembuktian menurut undang-undang secara negatif, semi tegaknya keadilan,
kebenaran dan kepastian hukum. Karena dalam sistem pembuktian ini,
terpadu kesatuan penggabungan antara sistem conviction-in time (sistem
pembuktian yang hanya bersandar atas keyakinan hakim) dengan sistem
pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief wettelijk
stelsel).
Ketentuan
dalam Pasal 183 KUHAP tersebut hampir identik dengan ketentuan dalam
Pasal 6 UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu :
“Tidak
seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena
alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan bahwa
seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas
perbuatan yang didakwakan atas dirinya.”
Oleh
karena itu, konsep keyakinan hakim tersebut baru dapat terbentuk dengan
didasarkan pada adanya alat bukti yang sah menurut KUHAP. Keyakinan
hakim yang akan terbentuk tersebut pada akhirnya nanti hanya terdiri
dari dua macam, yaitu keyakinan bahwa terdakwa tidak terbukti bersalah
atau sebaliknya keyakinan bahwa terdakwa terbukti bersalah.
Aktualisasi
dari kombinasi kedua konsep dalam ketentuan pasal 183 KUHAP tersebut
dapat dilihat dalam rumusan kalimat baku setiap diktum putusan perkara
pidana yang menyatakan “secara sah dan meyakinkan”. Kata “sah” dalam hal
ini berarti bahwa hakim dalam memberikan putusan tersebut didasarkan
pada alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam KUHAP dan peraturan
perundang-undangan lainnya. Sedangkan kata “meyakinkan” dalam hal ini
berarti bahwa dari alat bukti yang sah tersebut maka terbentuk keyakinan
hakim.
Rumusan
sistem pembuktian tersebut tentunya untuk mendukung tujuan dari hukum
acara pidana, yaitu untuk mencari dan memperoleh kebenaran materiil.
Dengan tercapainya kebenaran materiil maka akan tercapai pula tujuan
akhir hukum acara pidana, yaitu untuk mencapai suatu ketertiban,
ketentraman, keadilan dan kesejahteraan dalam masyarakat.Adapun yang
dimaksud dengan alat-alat bukti yang sah adalah sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu :
- keterangan saksi;
- keterangan ahli;
- surat;
- petunjuk;
- keterangan terdakwa.
Dengan
demikian, untuk dapat menjatuhkan pemidanaan kepada seseorang haruslah
terdapat minimal dua alat bukti dari lima alat bukti yang diatur dalam
Pasal 184 KUHAP yang mengatur secara limitatif alat bukti yang sah
menurut undang-undang. Hal tersebut diatas, juga mengisyaratkan bahwa
KUHAP juga menganut prinsip Batas Minimum Pembuktian yang mengatur batas
tentang keharusan yang dipenuhi dalam membuktikan kesalahan terdakwa.
Selain
kelima alat bukti tersebut, tidak dibenarkan untuk dipergunakan dalam
pembuktian kesalahan terdakwa. Alat bukti yang dibenarkan dan mempunyai
kekuatan pembuktian hanyalah kelima alat bukti tersebut. Pembuktian
dengan alat bukti diluar kelima alat bukti diatas, tidak mempunyai nilai
serta tidak mempunyai kekuatan yang mengikat. Dalam hal ini, baik
Hakim, Penuntut Umum, terdakwa maupun Penasehat Hukum, semuanya terikat
pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan oleh
undang-undang.(Kamal Najmi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar