Hukum Acara Pidana di Indonesia
Upaya
penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi (hukum) pidana
merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri,
bahkan ada yang mengatakan bahwa hukum pidana merupakan the older
philosophy of crime control. Sampai saat ini pun, hukum pidana masih
digunakan dan “diandalkan” sebagai salah satu sarana politik kriminal.12
Hal tersebut dapat dilihat dari adanya ancaman pidana pada hampir
setiap produk perundang-undangan yang dikeluarkan oleh badan legislatif
negara ini, meskipun produk perundang-undangan tersebut tidak termasuk
dalam perundang-undangan yang tidak mengatur secara spesifik tentang
suatu tindak pidana.
Dengan
demikian, hukum pidana hampir selalu digunakan untuk “menakut-nakuti”
atau mengamankan berbagai kebijakan yang timbul di berbagai bidang
terutama dalam menanggulangi kejahatan. Fenomena tersebut memberi kesan
seolah-olah suatu peraturan akan kurang sempurna atau “hambar” apabila
tidak disertai dengan ketentuan pidana.
Dalam
ruang lingkup hukum pidana yang luas, baik hukum pidana substantif
(materiil) maupun hukum acara pidana (hukum pidana formal) disebut hukum
pidana. Hukum acara pidana berfungsi untuk menjalankan hukum pidana
substantif (materiil), sehingga disebut hukum pidana formal atau hukum
acara pidana.
Pompe
merumuskan hukum pidana (materiil) sebagai keseluruhan peraturan hukum
yang menunjukkan perbuatan mana yang seharusnya dikenakan pidana dan di
mana pidana itu seharusnya menjelma. Sedangkan hukum acara pidana
tersebut mengatur tentang bagaimana negara melalui alat-alat
(lembaga-lembaga) melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan
pidana.14
Wirjono
Projodikoro mengemukakan bahwa hukum acara pidana berhubungan erat
dengan adanya hukum pidana, sehingga merupakan suatu rangkaian
peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah
yang berkuasa, yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan harus
bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana.
Di
Indonesia, ketentuan acara pidana diatur dalam Undang Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang kita kenal dengan KUHAP
disahkan pada tanggal 31 Desember 1981 dalam Lembaran Negara 1981 Nomor
76, TLN Nomor 3209. Sebagai induk hukum acara pidana di Indonesia, KUHAP
berfungsi untuk menjalankan hukum pidana substantif (materiil),
sehingga disebut hukum pidana formal atau hukum acara pidana.16 Artinya
proses penanganan perkara tindak pidana yang diatur dalam
perundang-undangan pidana di Indonesia, mulai dari penyidikan,
penuntutan sampai dengan eksekusi, haruslah mengacu kepada KUHAP,
sepanjang di dalam perundangan tersebut tidak mengatur tentang acara
pidana. Apabila dalam suatu perundang-undangan pidana sebagai suatu
hukum pidana materiil di dalamnya juga mengatur tentang hukum acara
pidana yang menyimpang dari KUHAP, maka hukum acara pidana di dalam
undang undang itulah yang digunakan. Hal tersebut sesuai dengan asas Lex
specialis derogat legi generali atau ketentuan yang khusus mengalahkan
ketentuan yang umum.
Dengan
terciptanya KUHAP, maka untuk pertama kalinya di Indonesia diadakan
kodifikasi dan unifikasi yang lengkap dalam arti meliputi seluruh proses
pidana dari awal sampai pada kasasi di Mahkamah Agung, bahkan sampai
meliputi Peninjauan Kembali
Pada prinsipnya, terdapat 10 asas yang menjadi acuan kebenaran atau ajaran dari kaidah-kaidah dalam KUHAP, yaitu :
- Asas equality before the law, yaitu perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum.
- Asas legalitas dalam upaya paksa, yaitu penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan undang-undang;
- Asas presumption of innocence, yaitu setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di muka pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
- Asas remedy and rehabilitation, yaitu terhadap seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan/atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diberikan, wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman administrasi.
- Asas fair, impartial, impersonal, and objective, yaitu peradilan harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.
- Asas legal assistance, yaitu setiap orang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya.
- Miranda Rule, yaitu kepada seorang tersangka sejak dilakukan penangkapan dan atau penahanan selain wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum apa yang didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahu haknya termasuk hak untuk menghubungi dan meminta bantuan penasehat hukumnya.
- Asas presentasi, yaitu pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa.
- Asas keterbukaan, sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali dalam hal yang diatur dalam undang-undang.
- Asas pengawasan, yaitu pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh ketua pengadilan negeri yang bersangkutan.
Kesepuluh
asas tersebut dalam praktiknya tidak terlepas dari desain prosedur
(procedural design) sistem peradilan pidana yang terdapat dalam KUHAP.
Sistem
Peradilan Pidana yang digariskan oleh KUHAP tersebut merupakan ”sistem
terpadu” (integrated criminal justice system). Sistem terpadu tersebut
diletakkan di atas landasan prinsip ”diferensiasi fungsional” di antara
aparat penegak hukum kepada masing-masing penegak hukum.20
Prinsip
diferensiasi fungsional adalah penegasan pembagian tugas wewenang
antara jajaran aparat penegak hukum secara instansional. KUHAP
meletakkan suatu asas ”penjernihan” (clarification) dan ”modifikasi”
(modification) fungsi dan wewenang antara setiap instansi penegak hukum.
Penjernihan pengelompokan tersebut, diatur sedemikian rupa sehingga
tetap terbina saling korelasi dan koordinasi dalam proses penegakan
hukum yang saling berkaitan dan berkelanjutan antara satu instansi
dengan instansi yang lain, sampai ke taraf proses pelaksanaan eksekusi
dan pengawasan pengamatan pelaksanaan eksekusi. Mulai dari taraf dan
permulaan penyidikan oleh kepolisian sampai kepada pelaksanaan putusan
pengadilan oleh Kejaksaan, selalu terjalin atas hubungan fungsi yang
berkelanjutan yang akan menciptakan suatu mekanisme saling cek di antara
sesama penegak hukum dalam suatu rangkaian integrated criminal justice
system. Penjernihan diferensiasi fungsi dan wewenang tersebut pada
akhirnya menciptakan pemisahan wewenang yang tegas dalam proses
peradilan pidana, yaitu :
- Kepolisian dalam hal penyidikan ;
- Kejaksaan dalam hal penuntutan dan pelaksanaan putusan pengadilan ;
- Pengadilan dalam hal pemeriksaan dan putusan pidana ;
- Lembaga Pemasyarakatan dalam hal pembinaan dan pemasyarakatan terpidana.
Proses Peradilan Pidana di Indonesia
Dalam
melakukan suatu penanganan perkara pidana, terdapat sebuah rangkaian
peradilan pidana yang terbagi atas beberapa tahap. Dalam KUHAP,
tahap-tahap penanganan perkara tersebut terdiri dari Penyelidikan,
Penyidikan, Penuntutan, Pemeriksaan di Persidangan, Putusan Hakim
(Vonis), Upaya Hukum dan diakhiri dengan pelaksanaan putusan.
Sesuai
dengan Pasal 1 butir 5 KUHAP, yang dimaksud dengan Penyelidikan adalah
”serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu
peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat
tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini.” Dengan demikian, penyelidikan adalah tindakan yang
mendahului penyidikan, dan merupakan tahap pertama dalam hukum acara
pidana yang bertujuan mencari kebenaran.
Sedangkan
dalam Pasal 1 butir 2 KUHAP diterangkan bahwa Penyidikan adalah
“serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang
dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya.”
Secara
etimologis istilah “penyidikan” merupakan persamaan kata opsporing dalam
Bahasa Belanda atau investigation dalam bahasa Inggris.
Penyidikan
berasal dari kata “sidik’ dan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia
berarti penyelidikan untuk mengetahui dan membedakan orang. Sedangkan
menyidik berarti memeriksa, menyelidiki, mengamati
Istilah
penyidikan pertama kali digunakan sebagai istilah hukum sejak tahun
1961 seiring dengan terbitnya Undang Undang Nomor 13 Tahun 1961 tentang
Ketentuan Ketentuan Pokok Kepolisian Negara. Namun dalam undang-undang
tersebut tidak diatur pengertian tentang istilah ”penyidikan” dan hanya
diatur tentang wewenang POLRI dalam tahap penyidikan.23 Adapun yang
dapat disebut sebagai ”Penyidik” diatur dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP yang
berbunyi :
”Penyidik
adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai
negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang
untuk melakukan penyidikan.”
Dengan
demikian, secara umum yang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan
suatu tindak pidana adalah Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), namun
untuk tindak pidana tertentu ada juga lembaga lain yang diberi
kewenangan oleh undang-undang tertentu untuk melakukan penyidikan. Hal
tersebut dipertegas dalam Pasal 6 KUHAP yang menyebutkan dua macam
pejabat yang diserahi wewenang penyidikan yaitu :
- Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan
- Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
Selanjutnya pengertian tentang ”Penuntutan” diatur dalam Pasal 1 angka 7 KUHAP yaitu
”Tindakan
Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri
yang berwenang dalam hal dan cara yang diatur dalam undang-undang ini
dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang
pengadilan.”
Dalam
hal melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan, maka
berdasarkan Ketentuan Umum KUHAP Pasal 1 angka 6 dijelaskan sebagai
berikut :
Pasal 1 angka 6
- Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
- Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Oleh karena itu, selain menjalankan penuntutan, Kejaksaan juga mempunyai wewenang
Melaksanakan
putusan melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap dan melaksanakan penetapan hakim.
Kemudian dalam Pasal 1 angka 9 KUHAP ditentukan bahwa yang dimaksud dengan mengadili adalahSrangkaian
tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana
berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang undang ini.
Adapun putusan Hakim dalam suatu perkara pidana dapat berupa hal-hal sebagai berikut :
- Pemidanaan, apabila pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Hal tersebut diatur dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP.
- Bebas atau vrijspraak, apabila pengadilan berpendapat bahwa kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP.
- Lepas dari Segala Tuntutan Hukum atau onslag van alle rechtsvervolging, apabila pengadilan berpendapat bahwa kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu perbuatan pidana. Hal tersebut diatur dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP.
Selanjutnya,
apabila Penuntut Umum ataupun terdakwa merasa tidak sependapat dengan
putusan Hakim, maka dapat dilakukan upaya hukum yang yang terdiri dari :
- Upaya hukum biasa yaitu Banding dan Kasasi ;
- Upaya hukum Luar Biasa yaitu Kasasi Demi Kepentingan Hukum dan Peninjauan Kembali;
- Upaya hukum konstitusional yaitu amnesty, abolisi, grasi dan rehabilitasi.
Kemudian
setelah suatu perkara pidana telah mendapatkan kekuatan hukum yang
tetap (inkracht van gewisjde), dilakukan pelaksanaan putusan pidana atau
eksekusi yang merupakan Tanggung Jawab Jaksa (Pasal 270 jo Pasal 1
butir 6a KUHAP) dan bertindak berdasarkan hukum dan mengindahkan
norma-norma keagamaan dan kesusilaan serta wajib menggali nilai-nilai
kemanusiaan dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Pemecahan Perkara (Splitsing) dan Keberadaan Saksi Mahkota
Sebagaimana
dijelaskan diatas bahwa dalam Pasal 184 KUHAP terdapat lima alat bukti
yang sah untuk dijadikan dasar terhadap pembuktian adanya suatu tindak
pidana. Berkaitan dengan hal tersebut, alat bukti yang paling paling
mudah dan paling sering dipergunakan adalah Keterangan Saksi. Dalam
prakteknya, hampir semua pembuktian perkara pidana membutuhkan alat
bukti berupa keterangan saksi dan pada umumnya alat bukti keterangan
saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh
dikatakan, tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat
bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu
bersandar kepada pemeriksaan keterangan
Saksi.
Sekurang-kurangnya disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain,
masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.25
Akan tetapi tidak semua keterangan saksi memiliki nilai dan kekuatan
sebagai alat bukti. Misalnya saja keterangan saksi di luar apa yang
didengar, dilihat atau dialaminya sendiri. Selain itu, keterangan saksi
yang diperoleh dari pendengaran orang lain (testimonium de auditu) juga
tidak mempunyai kekuatan pembuktian. Begitu pula opini atau rekaan yang
diperoleh dari hasil pemikiran saksi yang bersangkutan. Keterangan saksi
demikian tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti di persidangan.
Kemudian sesuai dengan Pasal 185 ayat (2) KUHAP, maka
keterangan seorang saksi saja, belum dapat dianggap sebagai alat bukti
yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Hal tersebut dikenal
dengan ungkapan Unus Tetis Nullus Tetis (satu saksi bukan saksi).Artinya,
jika alat bukti yang tersedia hanya terdiri dari seorang saksi saja
tanpa ditambah dengan keterangan saksi yang lain atau alat bukti yang
lain, maka “kesaksian tunggal” tersebut tidak dapat dinilai sebagai alat
bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
Permasalahan
yang muncul di dalam praktek penanganan perkara, adalah terdapat dugaan
terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa pelaku, namun
tidak ada saksi yang secara langsung melihat dan mendengar saat tindak
pidana tersebut dilakukan, sehingga yang paling mengetahui tentang
peristiwa tersebut adalah para pelaku sendiri. Dalam hal inilah,
diperlukan upaya pembuktian dengan jalan melakukan pemecahan perkara
supaya terdapat alat bukti Keterangan Saksi dan mempunyai kekuatan
pembuktian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 185 ayat (2) diatas,
sehingga pelaku yang satu dapat menjadi saksi terhadap pelaku lain.
Dalam Pasal 142 KUHAP dikatakan :
“Dalam
hal Penuntut Umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa
tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak
termasuk dalam ketentuan Pasal 141, Penuntut Umum dapat melakukan
penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah.”
Dengan
demikian, Pasal 142 KUHAP memberikan kewenangan kepada Penuntut Umum
untuk melakukan “pemecahan berkas perkara” dari satu berkas perkara
menjadi beberapa berkas perkara. Pemecahan berkas perkara inilah yang
disebut dengan splitsing, yaitu memecah satu berkas perkara menjadi dua
atau lebih atau a split trial.
Pada
dasarnya, pemecahan berkas perkara terjadi disebabkan faktor pelaku
tindak pidana yang terdiri dari beberapa orang. Apabila terdakwa terdiri
dari beberapa orang, Penuntut Umum dapat menempuh cara untuk memecah
berkas perkara menjadi beberapa berkas perkara sesuai dengan jumlah
terdakwa, sehingga :
- Berkas yang semula diterima Penuntut Umum dari Penyidik, dipecah menjadi dua atau beberapa berkas perkara;
- Pemecahan dilakukan apabila yang menjadi terdakwa dalam perkara tersebut, terdiri dari beberapa orang. Dengan pemecahan berkas dimaksud, masing-masing terdakwa didakwa dalam satu surat dakwaan yang berdiri sendiri antara yang satu dengan yang lain;
- Pemeriksaan perkara dalam pemecahan berkas perkara, tidak lagi dilakukan bersamaan dengan suatu persidangan. Masing-masing terdakwa diperiksa dalam persidangan yang berbeda;
- Pada umumnya, pemecahan berkas perkara menjadi penting, apabila dalam perkara tersebut kurang bukti dan kesaksian.
Dengan
pemecahan berkas perkara menjadi beberapa perkara yang berdiri sendiri,
antara seorang terdakwa dengan terdakwa yang lain, masing-masing dapat
dijadikan sebagai saksi secara timbal balik. Sedang apabila mereka
digabung dalam suatu berkas dan pemeriksaan persidangan, antara yang
satu dengan yang lain tidak dapat saling dijadikan menjadi saksi yang
timbal balik. Dalam hal inilah, muncul istilah “saksi mahkota” sebagai
alat bukti dalam perkara pidana. Walaupun dalam KUHAP tidak ada definisi
otentik mengenai ’saksi mahkota’ (kroon getuide) namun dalam praktiknya
keberadaan saksi mahkota tersebut ada dan diakui.
Saksi mahkota adalah
teman terdakwa yang melakukan tindak pidana bersama-sama diajukan
sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan Penuntut Umum, yang perkara
diantaranya dipisahkan karena kurangnya alat bukti. (Putusan Mahkamah Agung RI No. 1986 K/Pid/1989)
Dengan
kata lain Saksi mahkota disini adalah saksi yang diperlukan untuk
pembuktian dalam sidang di pengadilan untuk dua perkara atau lebih, yang
saling bergantian dalam perkara yang satu sebagai terdakwa dan dalam
perkara yang lain jadi saksi, demikian secara timbal balik. Penggunaan
alat bukti saksi mahkota tersebut hanya dapat dilakukan dalam perkara
pidana yang berbentuk penyertaan, dan terhadap perkara pidana tersebut
telah dilakukan pemisahan (splitsing) yang didasarkan pada alasan karena
kurangnya alat bukti yang akan diajukan oleh penuntut umum.
Pada
awalnya, pengaturan mengenai saksi mahkota hanya diatur dalam ketentuan
Pasal 168 huruf (c) KUHAP, yang pada pokoknya menjelaskan bahwa pihak
yang bersama-sama sebagai terdakwa tidak dapat didengar keterangannya
dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi. Selanjutnya, dalam
perkembangannya, maka rekognisi tentang saksi mahkota sebagai alat bukti
dalam perkara pidana diatur dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990.(Varia
Peradilan Nomor 62, Nopember 1990, hal. 19-44. )
Dalam
yurisprudensi nomor 1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990 tersebut
dijelaskan bahwa Mahkamah Agung tidak melarang apabila jaksa penuntut
umum mengajukan saksi mahkota di persidangan dengan syarat bahwa saksi
ini dalam kedudukannya sebagai terdakwa tidak termasuk dalam satu berkas
perkara dengan terdakwa yang diberikan kesaksian. Selain itu, dalam
yurisprudensi tersebut juga telah diberikan suatu definisi tentang saksi
mahkota yaitu teman terdakwa yang melakukan tindak pidana bersama-sama
diajukan sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan penuntut umum, yang
perkara
diantaranya dipisah karena kurangnya alat bukti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar