Jumat, 20 April 2012

ASPEK HUKUM PINJAM MEMINJAM UANG

Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah dijelaskan bahwa tujuan nasional adalah membentuk pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaiaan abadi, dan keadilan sosial.

Sesuai dengan hal tersebut di atas, maka bangsa Indonesia telah melakukan pembangunan untuk mewujudkan tujuan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur secara materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Usaha yang telah dilakukan pemerintah tersebut salah satunya adalah meningkatkan taraf hidup masyarakat Indonesia, khususnya dalam bidang sosial dan ekonomi yakni dengan memberikan pinjaman melalui jalur perkreditan baik masyarakat yang membutuhkan tambahan modal. Wujud daripada hal tersebut salah satu sasaranya adalah koperasi.

Di samping lembaga lain seperti bank atau pengadilan, koperasi sebagai urat nadi perekonomian bangsaIndonesia.2 Sebagai urat nadi perekonomian maka koperasi selalu bertindak untuk melindungi mereka masyarakat yang ekonominya lemah yang menjadi anggota koperasinya.

Perkoperasian. Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992:

“Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan.”

Salah satu caranya dengan cara mengajukan pinjaman uang kepada koperasi atau yang dikenal dengan pinjaman kredit, kata kredit berasal dari Romawi “Credere” artinya percaya. Ketentuan mengenai perjanjian kredit diatur dalam Pasal 1 angka 11 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yaitu:

“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antar pihak bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberi bunga.”
Perjanjian pinjam meminjam merupakan acuan dari perjanjian kredit, pengertian perjanjian pinjam meminjam menurut Pasal 1754 KUH Perdata adalah:

“Suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberi kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabiskan karena pemakaian dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akanmengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula.”

Berdasarkan hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa perjanjian pinjam uang merupakan suatu perjanjian antar orang atau badan usaha dengan seseorang dimana pihak peminiam diberikan sejumlah uang dengan jaminan tertentu dan di kemudian hari mengembalikan kepada yang meminjamkan dengan imbalan atau bunga tertentu.

Dalam membuat perjanjian kredit terdapat berbagai judul dalam praktek perbankan tidak sama, ada yang menggunakan judul perjanjian kredit, akad kredit, persetujuan pinjam uang, persetujuan membuka kredit dan lain sebagainya. Meskipun judul dari perjanjian pinjam meminjam uang itu berbeda tetapi secara yuridie isi perjanjian pada hakekatnya sama yaitu memberikan pinjaman uang

Di dalam praktek sebelum memberikan kredit, pihak kreditur biasanya melakukan penelitian terlebih dahul atau yang lebih dikenal dengan istilah 5C terhadap 
  1. Character (watak).
  2. Capacity (kemampuan), 
  3. Capital (modal), 
  4. Collateral (angunan) dan 
  5. Condition of economic (prospek usaha debitur)
Hal ini bisa dimaklumi karena setiap pemberian kredit melalui lembaga perkreditan memerlukan suatu kepastian hukum. Seperti pendapat Prof Dr Sri Soedewi Masichoen Sofwan:

“Dalam rangka pembangunan ekonomi bidang hukum yang meminta perhatian serius dalam pembinaan hukumnya diantaranya ialah lembaga jaminan, karena perkembangan ekonomi dan perdangan akan diikuti oleh perkembangan kebutuhan akan kredit dan pemberian fasilitas kredit ini memerlukan jaminan demi keamanan pemberi kredit ini.”

KETERBUKAAN INFORMASI DI PENGADILAN

Bahwa proses peradilan yang transparan merupakan salah satu syarat mewujudkan keterbukaan dan akuntablitas penyelenggaraan peradilan, dan untuk menjamin agar hal tersebut  terlaksana sebagaimana mestinya, telah diatur dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.

Dalam Keputusan Mahkamah Agung yang dimaksud dengan:
Informasi adalah : Segala sesuatu yang dapat dikomunikasikan atau yang dapat menerangkan sesuatu dalam bentuk atau format apapun;
Pemohon adalah : Orang yang mengajukan permohonan informasi kepada pejabat Pengadilan;
  1. Orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum;
  2. Pengadilan adalah Pengadilan seluruh lingkungan dan tingkatan peradilan, kecuali secara tegas dinyatakan lain;
  3. Hakim adalah hakim seluruh lingkungan dan tingkatan peradilan;
  4. Pegawai adalah pegawai negeri yang

HAK MASYARAKAT DAN KEWAJIBAN PENGADILAN

Hak Masyarakat atas Informasi Pengadilan  yang diatur di dalam
KEPUTUSAN KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 144/KMA/SK/VIII/2007 TAHUN 2007

Pasal 2
Setiap orang berhak memperoleh informasi dari Pengadilan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Standar Pelayanan dan Pendokumentasian
Pasal 3
(1) Pengadilan menyediakan informasi yang bersifat terbuka dan dapat diakses oleh
publik.
(2) Pengadilan tidak dapat mewajibkan menyebutkan tujuan atau alasan mengajukan
permohonan informasi yang secara tegas dinyatakan sebagai informasi yang bersifat
terbuka dan dapat diakses oleh publik.

INFORMASI YANG HARUS DIUMUMKAN PENGADILAN
Jenis Informasi Yang Harus Diumumkan
Pasal 6
(1) Informasi yang harus diumumkan oleh setiap Pengadilan setidaknya meliputi
informasi:
  1. gambaran umum Pengadilan yang, antara lain, meliputi: fungsi, tugas, yurisdiksi dan struktur organisasi Pengadilan tersebut serta telepon, faksimili, nama dan jabatan pejabat Pengadilan non Hakim;
  2. gambaran umum proses beracara di Pengadilan;
  3. hak-hak pencari keadilan dalam proses peradilan;
  4. biaya yang berhubungan dengan proses penyelesaian perkara serta biaya hak-hak kepaniteraan sesuai dengan kewenangan, tugas dan kewajiban Pengadilan;
  5. putusan dan penetapan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap;
  6. putusan dan penetapan Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tingkat Banding yang belum berkekuatan hukum tetap dalam perkara-perkara tertentu.
  7. agenda sidang pada Pengadilan Tingkat Pertama;
  8. agenda sidang pembacaan putusan, bagi Pengadilan Tingkat Banding dan Pengadilan Tingkat Kasasi;
  9. mekanisme pengaduan dugaan pelanggaran yang dilakukan Hakim dan Pegawai;
  10. hak masyarakat dan tata cara untuk memperoleh informasi di Pengadilan.

(2) Perkara-perkara tertentu sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf f adalah:

  1. korupsi;
  2. terorisme;
  3. narkotika/psikotropika;
  4. pencucian uang; atau
  5. perkara lain yang menarik perhatian publik atas perintah Ketua Pengadilan.

(3) Informasi yang harus diumumkan oleh Mahkamah Agung selain dari yang disebutkan
dalam ayat (1) adalah:

  1. Peraturan Mahkamah Agung;
  2. Surat Edaran Mahkamah Agung;
  3. Yurisprudensi Mahkamah Agung;
  4. laporan tahunan Mahkamah Agung;
  5. rencana strategis Mahkamah Agung;
  6. pembukaan pendaftaran untuk pengisian posisi Hakim atau Pegawai.

INFORMASI YANG DAPAT DIAKSES PUBLIK
Pasal 14
Informasi sebagaimana diatur dalam bab ini adalah informasi terbuka dan dapat diakses
secara langsung oleh publik melalui petugas informasi dan dokumentasi tanpa perlu
meminta persetujuan dari pejabat penanggungjawab, kecuali jika secara tegas dinyatakan
sebaliknya.

Informasi tentang Perkara
Pasal 15
Informasi perkara yang terbuka adalah:
  1. putusan dan penetapan Pengadilan baik yang telah berkekuatan hukum tetap maupun yang belum berkekuatan hukum tetap dalam perkara-perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2);
  2. tahapan suatu perkara dalam proses pengelolaan perkara;
  3. data statistik perkara.


Pasal 16
Selain perkara-perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), fotokopi salinan
putusan dan penetapan Pengadilan yang belum berkekuatan hukum tetap dapat diberikan
untuk keperluan resmi lembaga negara, keperluan penelitian atau keperluan lain yang
dipandang layak atas ijin Ketua Pengadilan.
Pasal 17
(1) Sebelum memberikan fotokopi putusan dan penetapan pengadilan kepada Pemohon,
petugas informasi dan dokumentasi harus mengaburkan informasi yang memuat
identitas para pihak berperkara, saksi, korban, pihak terkait, terdakwa atau terpidana
dalam perkara-perkara sebagaimana dimaksud Pasal 8, 9 dan 10.
(2) Pengaburan informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan cara
menghitamkan bagian informasi tersebut sehingga tidak dapat dibaca.

Pasal 22
(1) Selain informasi yang harus dibuat agar diketahui umum dan informasi terbuka
sebagaimana diatur dalam Keputusan ini, informasi lain hanya dapat diakses publik
dengan ijin penanggungjawab.
(2) Pejabat Penanggung Jawab dapat memberikan ijin memberikan suatu informasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sepanjang informasi tersebut tidak akan
merugikan:
  1. privasi seseorang;
  2. kepentingan komersial seseorang atau badan hukum;
  3. upaya penegakan hukum;
  4. proses penyusunan kebijakan;
  5. pertahanan, keamanan dan hubungan luar negeri negara Indonesia;
  6. ketahanan ekonomi nasional.

Biaya
Pasal 27
Pengadilan hanya dapat membebani Pemohon sekedar biaya fotokopi atau biaya cetak
(print) yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan berdasarkan biaya yang berlaku secara
umum.

Prosedur Cepat
Pasal 29

Keterangan sebagaimana dimaksud Pasal 25 dan 26 tidak diperlukan apabila:
  1. informasi yang dimohon sudah tersedia di Pengadilan tersebut;
  2.  informasi yang dimohon tidak termasuk dalam kategori informasi dengan volume besar, sedang dalam proses pembuatan atau memerlukan konsultasi lebih lanjut dengan penanggungjawab;
  3. pemohon bersedia membayar secara langsung perkiraan biaya untuk menyalin informasi



KEBERATAN
Bagian Pertama
Dasar Keberatan
Pasal 30
Setiap Pemohon dapat mengajukan keberatan dalam hal:
  1. permohon ditolak dengan alasan informasi tersebut tidak dapat diakses publik;
  2. tidak tersedia informasi yang harus diumumkan sebagaimana diatur dalam Pasal6;
  3. permohonan informasi tidak ditanggapi sebagaimana mestinya;
  4. pengenaan biaya yang melebihi dari yang telah ditetapkan Ketua Pengadilan; atau
  5.  informasi tidak diberikan sekalipun telah melebihi jangka waktu yang diatur dalam ketentuan ini.

Prosedur Keberatan
Pasal 31
(1) Pemohon dapat mengajukan keberatan kepada penanggungjawab selambatlambatnya
7 (tujuh) hari kerja setelah terjadi hal-hal sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 30.
(2) Dalam hal pemohon mengajukan keberatan atas keputusan yang ditetapkan oleh
penanggungjawab pada Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tingkat
Banding, maka keberatan diajukan ke penanggungjawab pada Mahkamah Agung.

Pasal 32
Penanggungjawab memberikan jawaban selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah
diterimanya keberatan tersebut.

SISTEM PEMBUKTIAN BERDASARKAN KUHAP

Pengertian “pembuktian” secara umum adalah ketentuan-ketentuan yang yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang dalam membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan oleh hakim guna membuktikan kesalahan yang didakwakan.

Mengenai pengertian dari kata pembuktian dapat dijumpai dalam pendapat para sarjana antara lain :

R. Soebekti, menyatakan bahwa :
Yang dimaksud dengan “membuktikan” ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.36

Martiman Prodjohamidjojo, menyatakan :
“membuktikan” mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran suatu peristiwa sehingga dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut.

Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka yang dimaksud dengan pembuktian adalah suatu kebenaran atau dalil yang diajukan ke depan sidang.

Dalil yang dimaksud itu dapat berupa alat bukti yang sah, dan diajukan ke depan persidangan. Dengan demikian pembuktian merupakan suatu kebenaran dari alat bukti yang sah, untuk dinyatakan bersalah atau tidaknya terdakwa atas tindak pidana yang didakwakan. Masalah pembuktian tentang benar tidaknya seorang terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan merupakan bagian terpenting dari acara pidana, karena hak asasi manusia (terdakwa) akan dipertaruhkan. Dalam hal inilah hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, yang berbeda dengan hukum acara perdata yang hanya sebatas pada kebenaran formal. Senada dengan hal tersebut, Van Bemmelen mengemukakan tiga fungsi hukum acara pidana yaitu :
  1. Mencari dan menemukan kebenaran;
  2. Pemberian keputusan oleh hakim;
  3. Pelaksanaan keputusan.

Dari ketiga fungsi tersebut, yang paling penting adalah fungsi “mencari kebenaran” karena hal tersebut merupakan tumpuan kedua fungsi berikutnya. Setelah menemukan kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti dan barang bukti, maka hakim akan sampai kepada putusan yang selanjutnya akan dilaksanakan oleh Jaksa.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tujuan hukum acara pidana, termasuk KUHAP adalah untuk mencari kebenaran dengan melakukan pembuktian.

Secara teoritis, dikenal empat macam sistem pembuktian dalam perkara pidana, yaitu sebagai berikut :39
    1. Conviction in time, adalah sistem pembuktian yang berpedoman pada keyakinan hakim an sich dalam memberikan putusan tentang terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.
    2. Conviction in Raisonee, adalah sistem pembuktian yang berpedoman pada keyakinan hakim dalam memberikan putusan tentang terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Faktor keyakinan hakim dalam sistem pembuktian ini harus didasarkan pada alasan-alasan yang logis (reasonable). Hal ini yang membedakan dengan sistem pembuktian yang pertama.
    3. Positief wetelijk stelsel atau yang lebih dikenal dengan sistem pembuktian posiitf, adalah sistem pembuktian yang berpedoman pada alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang dalam memberikan putusan tentang terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.
    4. Negatief wetelijk stelsel atau yang lebih dikenal dengan sistem pembuktian negatif, adalah sistem pembuktian yang berpedoman pada alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang dan keyakinan hakim dalam memberikan putusan tentang terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.

Adapun sistem Pembuktian yang diatur dalam KUHAP tercantum dalam Pasal 183 yang rumusannya adalah sebagai berikut : ” Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukannya.”

Dari rumusan Pasal 183 tersebut, terlihat bahwa pembuktian harus didasarkan sedikitnya pada dua alat bukti yang sah, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut. Artinya, tersedianya minimum dua alat bukti saja, belum cukup untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Sebaliknya, meskipun hakim sudah yakin terhadap kesalahan terdakwa, maka jika tidak tersedia minimum dua alat bukti, hakim juga belum dapat menjatuhkan pidana terhadap terdakwa. Dalam hal inilah penjatuhan pidana terhadap seorang terdakwa haruslah memenuhi dua syarat mutlak, yaitu alat bukti yang cukup dan keyakinan hakim. Sistem pembuktian tersebut terkenal dengan nama sistem negative wettelijk.

Dalam Penjelasan Pasal 183 KUHAP tersebut dinyatakan bahwa Pembentuk Undang Undang telah menentukan pilihan bahwa sistem pembuktian yang paling tepat dalam kehidupan penegakan hukum di Indonesia adalah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif, semi tegaknya keadilan, kebenaran dan kepastian hukum. Karena dalam sistem pembuktian ini, terpadu kesatuan penggabungan antara sistem conviction-in time (sistem pembuktian yang hanya bersandar atas keyakinan hakim) dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief wettelijk stelsel).

Ketentuan dalam Pasal 183 KUHAP tersebut hampir identik dengan ketentuan dalam Pasal 6 UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu :
“Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.”

Oleh karena itu, konsep keyakinan hakim tersebut baru dapat terbentuk dengan didasarkan pada adanya alat bukti yang sah menurut KUHAP. Keyakinan hakim yang akan terbentuk tersebut pada akhirnya nanti hanya terdiri dari dua macam, yaitu keyakinan bahwa terdakwa tidak terbukti bersalah atau sebaliknya keyakinan bahwa terdakwa terbukti bersalah.

Aktualisasi dari kombinasi kedua konsep dalam ketentuan pasal 183 KUHAP tersebut dapat dilihat dalam rumusan kalimat baku setiap diktum putusan perkara pidana yang menyatakan “secara sah dan meyakinkan”. Kata “sah” dalam hal ini berarti bahwa hakim dalam memberikan putusan tersebut didasarkan pada alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam KUHAP dan peraturan perundang-undangan lainnya. Sedangkan kata “meyakinkan” dalam hal ini berarti bahwa dari alat bukti yang sah tersebut maka terbentuk keyakinan hakim.

Rumusan sistem pembuktian tersebut tentunya untuk mendukung tujuan dari hukum acara pidana, yaitu untuk mencari dan memperoleh kebenaran materiil. Dengan tercapainya kebenaran materiil maka akan tercapai pula tujuan akhir hukum acara pidana, yaitu untuk mencapai suatu ketertiban, ketentraman, keadilan dan kesejahteraan dalam masyarakat.Adapun yang dimaksud dengan alat-alat bukti yang sah adalah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu :
  1. keterangan saksi;
  2. keterangan ahli;
  3.  surat;
  4. petunjuk;
  5. keterangan terdakwa.

Dengan demikian, untuk dapat menjatuhkan pemidanaan kepada seseorang haruslah terdapat minimal dua alat bukti dari lima alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP yang mengatur secara limitatif alat bukti yang sah menurut undang-undang. Hal tersebut diatas, juga mengisyaratkan bahwa KUHAP juga menganut prinsip Batas Minimum Pembuktian yang mengatur batas tentang keharusan yang dipenuhi dalam membuktikan kesalahan terdakwa.
Selain kelima alat bukti tersebut, tidak dibenarkan untuk dipergunakan dalam pembuktian kesalahan terdakwa. Alat bukti yang dibenarkan dan mempunyai kekuatan pembuktian hanyalah kelima alat bukti tersebut. Pembuktian dengan alat bukti diluar kelima alat bukti diatas, tidak mempunyai nilai serta tidak mempunyai kekuatan yang mengikat. Dalam hal ini, baik Hakim, Penuntut Umum, terdakwa maupun Penasehat Hukum, semuanya terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang.(Kamal Najmi)